Faldhita #01

2.4K 131 0
                                    

Seorang gadis terbaring gelisah. Tubuhnya tak mau berdiam. Berbalik dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Berulang-ulang. Keringat membasahi sekujur tubuhnya walau suhu di kamar itu sejuk. Wajahnya menyiratkan ketakutan. Tak lama tubuhnya menggigil hebat seolah menahan sakit. Dari mulutnya keluar erangan dan isak. Air mata mengalir dari kedua sudut matanya, yang tertutup rapat. Ya, gadis itu menangis dalam tidurnya. Gerakannya kian gelisah. Kedua tangannya tergerak seolah menghalau sesuatu.

"Jangan!!!" Sebuah teriakan mengusik keheningan malam bertepatan dengan kedua mata gadis itu yang terbuka. Napasnya memburu. Kedua matanya menatap nyalang dalam kegelapan kamar. Mencari. Seolah takut bila mimpi buruknya adalah kenyataan. Dadanya terasa sesak. Kepalanya seolah berputar dan berdenyut. Pandangannya meredup dan berkunang-kunang. "Aarrrrggghhh ...!!!" teriaknya seiring kedua tangannya terangkat untuk menjambak surai hitam sepunggung miliknya sendiri. Isakan mengakhiri jerit marahnya.

Sepasang tangan memeluknya dari arah samping. Nyaris membuatnya berontak menjauh. Namun kehangatan dan harum tubuh sosok di sisi kirinya itu membuat niatnya mengabur. Dirasakannya pelukan itu mengerat. Disandarkannya kepala pada bahu itu. "Aku takut ...."

"Enggak apa-apa, Sayang. Kamu aman, Faldhita Raditya." Tangan lembut itu terangkat dan mengusap penuh kasih rambut Fal, yang kembali memejamkan kedua matanya walau mulutnya masih mengicaukan ketakutannya.

...

"Pagi, Fal. Mata lo sembap. Mimpi buruk lagi?" Sapa seseorang begitu Fal mendekat. Kedua mata teduh beriris kecokelatan itu memandang lembut Fal, gadis dengan surai sebatas punggung, lurus, dan hitam.

Fal mengangguk dalam diam. Menerima uluran helm dari Ardan Benyamin, sahabatnya sejak kecil. "Berangkat sekarang," ujarnya dengan suara pelan namun terdengar oleh lawan bicaranya.

Ardan a.k.a. Abey, mulai mengarahkan motor antiknya ke arah kampus. Berjalan santai menikmati jalanan, yang cukup lengang. Sesekali memancing Fal untuk bersuara. Tak menyerah walau tak sekali ucapannya dianggap angin lalu oleh gadis di boncengannya.

"Pulang kuliah nanti bisa antar gue cari kado untuk Mama?" tanya Fal setelah sekian lama terdiam. Datar. Seperti biasa. Pandangannya lurus ke depan namun kosong dan dingin.

Abey tersenyum. Mengangguk dengan semangat. "Tentunya. Apa sih yang enggak buat Putri Kecil gue."

Fal menghela napas. Putri Kecil. Sebuah panggilan sayang dari seorang Ardan Benyamin, yang sudah dikenalnya jauh sebelum berpindah ke kota itu. Anak dari salah satu teman lama sang Papa, yang dulu bertetangga dengannya, sebelum pemuda itu diboyong pergi oleh kedua orang tuanya. Sesosok laki-laki, yang jadi salah satu penopangnya setelah kejadian terburuk di hidupnya. Satu-satunya lelaki yang dipercayanya selain Sang Papa. "Jangan panggil gue Putri Kecil lagi, Bey. Gue rasa, gue enggak pantas dapat panggilan itu." Wajah datar itu tertunduk. Berusaha menutupi sedih dan kecewa, yang secara otomatis terbentuk dalam ekspresinya.

Abey menghentikan motor antiknya tepat di salah satu sudut tempat parkir kampus. Dihelanya napas. Ada sakit dalam hatinya setiap kali Fal mengucapkan itu. "Enggak, Fal. Sampai kapan pun lo akan tetap jafi Putri Kecil di mata gue, tanpa peduli lo seperti apa."

Fal mengangkat wajah. Menatapi punggung Abey dengan mata berkaca-kaca. Nyaris dipeluknya tubuh tegap itu. "Makasih, Bey."

...

Fal berjalan menyusuri koridor. Melangkah cepat. Masih ada tiga puluh menit sebelum kelas dimulai, namun langkahnya tetap tergesa. Beberapa mahasiswa, menatapnya maklum. Fal memang terkenal enggan bersosialisasi. Selalu menghindar bersinggungan dengan manusia lain. Selalu rikuh jika harus berada di keramaian. Hanya Abey yang diizinkannya masuk ke dalam lingkaran pertemanannya, yang sangat sangat terbatas itu.

FaldhitaWhere stories live. Discover now