Cerita Dari Masa Lalu

133 8 1
                                    

Bogor, 2018...

Mentari pagi menemani langkahnya. Burung-burung berkicau dengan merdunya dari atas pohon. Awan-awan menari-nari dengan indahnya di langit yang berwarna biru kemudaan. Rumput-rumput kecil yang indah nan lucu tampak mengikuti semilir angin yang berhembus dengan mesranya.

Di sepanjang trotoar jalan yang membentang areal Kebun Raya Bogor, tampak seorang lelaki dengan kaus berkerah memakai celana levis bersepatu kets menelusuri trotoar yang panjangnya mengelilingi area Kebun Raya Bogor yang di dalamnya terdapat Istana Presiden dan areal-areal hijau yang indah. Lelaki itu menyusuri trotoar sambil menggendong tas ransel merk Adidas. Tangan kanannya tengah kerepotan menjinjing sebuah kamera SLR yang sedari tadi di pakainya untuk memotret.

Lelaki itu celingak-celinguk. Seperti mencari sesuatu yang ia sendiri juga bingung apa yang hendak di carinya itu. Lelaki berkaos merah itu menghentikan langkah kakinya. Ia memusatkan pandangannya ke salah satu toko souvenir khas Kota Bogor. Ia terus memandangi toko itu. Lama kelamaan lelaki itu membuka senyumnya.

Ia terus mengamati toko itu. Mengamati pelayan dan juga beberapa manusia yang lalu lalang di dalamnya. Di dalam hatinya terbesit keinginan untuk masuk ke dalam toko itu. Tapi keinginannya itu ditahannya. Entahlah, nampaknya ada suatu kenangan tersendiri yang di milikinya bersama toko itu.

Lelaki itu menghela nafasnya. Lalu menundukkan pandangannya. Ia kembali melangkahkan kedua kakinya. Langkah demi langkah terus ia hentakkan. Lelaki itu menghentikan langkahnya di sebuah halte yang terletak tepat di depan Mall BTM Bogor. Ia mendaratkan bokongnya pada sebuah kursi yang terletak di dalam bangunan besi ini.

SLR yang sedari tadi menemaninya, ia nyalakan. Jari-jari mungilnya digerakkannya. Bola matanya ia putar guna melihat hasil jepretan yang di tampilkan di layar kamera. Namun bukan melihat hasil yang dari tadi ia jepret, melainkan ia menggerakkan jemarinya untuk melihat-lihat kenangan yang pernah diciptakannya bersama seseorang yang saat ini masih menjadi orang spesial di hidupnya. Kenangan itu akan selalu membekas di benaknya sampai kapanpun juga.

Cempaka Amelia. Orang-orang memanggilnya Aka, gadis cantik berusia 21 tahun itu pernah singgah di hatinya hampir 3 tahun lamanya. Tepatnya, kisah itu ia mulai sejak duduk di kelas 3 SMA. Aka memang cinta pertama Arsyad, Arsyad Rahadian. Lelaki yang hobi memotret dan menulis ini memiliki kisah asmara penuh liku di kehidupannya.

Sebenarnya Arsyad benci perpisahan. Apalagi Aka adalah cinta pertamanya. Gadis yang dulunya selalu ada dan selalu setia menemaninya ke manapun dan kapan pun. Bahkan Arsyad pernah berjanji, dirinya akan menikahinya satu tahun lagi. Tepatnya, setelah pemuda itu lulus dari bangku kuliah.

Saat janji itu terus di jaga, skenario Tuhan merubah semuanya. Belum lama ini Aka pergi meninggalkan Arsyad begitu saja. Gadis itu terpaksa mengakhiri hubungan yang sudah 2 tahun delapan bulan mereka jalani karena Aka harus pindah study ke Malang, Jawa Timur. Sebenarnya gadis itu enggan meninggalkan Arsyad. Namun Aka harus melakukan itu karena wanita itu tidak sanggup bila harus menjalani hubungan jarak jauh atau LDR. Akhirnya Aka mengakhiri semuanya. Mematahkan semua niat tulus dan serius dari seorang Arsyad Rahadian.

Arsyad masih ingat betul, mereka berdua sering jalan di tempat ini. Apalagi ke toko yang sedari tadi di ratapinya. Arsyad sering megantar Aka ke situ. Biasanya Aka membeli souvenir khas Kota Bogor untuk di jualkan secara online. Selain itu, Aka juga membeli macam-macam souvenir untuk keluarganya dan orang terdekatnya.

Karena banyaknya kenangan yang di buat, sampai-sampai Arsyad masih sulit move on hingga saat ini. Padahal putusnya hubungan mereka sudah hampir satu setengah tahun yang lalu. Jahatnya cinta pertama. Hingga membuat pelakunya sulit melupakannya.

"Mau sampai kapan kamu terpuruk begini, Syad?" Kata Wawan, sahabat yang selalu menemaninya sejak SMP. "Kamu harus bangkit dari keterpurukan kamu! Sekarang bukan saatnya kamu menyia-nyiakan hidupmu, Bro. Dia aja bisa dengan mudahnya meninggalkan kamu. Saya yakin, Aka sekarang udah dapat cowok yang lebih dari kamu. Sedangkan kamu harus terpuruk seperti ini. Bangkit dong!"

Pernyataan itu bak cambuk yang menampar wajahnya. Padahal kata-kata itu sudah di lontarkan Wawan kurang lebih lima bulan yang lalu. Tepat satu hari sebelum Arsyad mulai menulis naskah pertamanya. Naskah yang sebagian besar di jajakan di Kota Malang itu, ditulis selama empat bulan dua puluh hari.

Selain di Malang, Arsyad juga menjajakan naskahnya di beberapa toko buku indi lainnya di beberapa kota besar di Indonesia. Sebanyak 2000 eksemplar ia distribusikan di kota besar Seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Padang dan Pekanbaru.

Arsyad sengaja mendistribusikan novel yang di terbitkannya melalui jalur indie itu ke Kota Malang. Pemuda itu berharap, Aka menemukan namanya dalam cover naskahnya itu. Dan harapan terbesarnya, Aka membaca semua goresan penanya yang terbungkus di dalam novelnya itu.

Arsyad sendiri mendapatkan inspirasi menulis akibat kegagalan yang di alaminya dalam mempertahankan hubungan. Berawal dari keterpurukan yang terus melandanya selama satu tahun lamanya. Jadilah inspirasi itu bermunculan di benaknya. Semua itu ia tumpahkan menjadi sebuah karya yang berhasil menyebar hingga luar Jawa Barat.

Jangan pergi...

Kau yang mengutuhkan aku...

Bertahanlah...

Sebentar lagi...

Sampai ku ikat dirimu...

Lagu Fiersa Besari yang berjudul Harapan ini ia bubuhkan di akhir cerita dari novelnya. Novel bergenre Romance ini, sukses terjual banyak di toko buku. Salah satunya toko buku yang di miliki oleh Zaki. Salah satu temannya yang di kenal lewat sosial media Instagram. Zaki sendiri memiliki toko buku yang cukup besar di pusat Kota Malang.

Perkenalan mereka belum terjalin lama. Arsyad juga belum pernah bertemu secara langsung dengan Zaki. Mereka saling kenal dan saling akrab melalui Instagram. Lalu di sambung via WhatsApp.

Menerbitkan buku secara indie memang membutuhkan waktu dan kemampuan yang sangat ekstra. Si penulis harus siap merogoh kantong untuk membiayai semua biaya terbit dan biaya distribusi. Termasuk pendistribusian novelnya hingga ke Kota Malang, semua biaya di tanggung oleh Arsyad sendiri.

Arsyad mematikan kamera SLR nya. Lalu menaruhnya ke dalam tas. Ia bangkit dari halte itu guna melanjutkan perjalanannya. Tujuannya saat ini adalah pulang ke rumah. Tepat di jantung ibu kota kabupaten Bogor, Cibinong.

Cibinong, Kab. Bogor

Tepat pukul setengah tiga sore, Arsyad pulang ke rumah dengan mengendarai mobil Honda Brio miliknya. Mobil itu terus melaju di Jalan Raya Jakarta-Bogor. Jalan yang membentang dari Kota Bogor hingga Kota Jakarta ini, selalu ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Baik itu kendaraan roda dua, roda empat, bahkan yang lebih dari roda empat.

Mobil mungil berwarna hitam itu terus melaju dengan kencang. Meski sesekali harus berhenti akibat macet atau pertigaan yang di beberapa sudutnya terdapat lampu merah. Belum lagi ulah beberapa supir angkutan umum yang sering menaik-turunkan penumpangnya di tengah jalan. Tidak jarang omongan kasar selalu terlontar dari bibir Arsyad akibat perilaku tidak terpuji itu.

Pemuda berusia 22 tahun itu menyalakan tape di mobil mungilnya. Ia memutar audio yang di sambungkan dari hp nya ke tape itu. Jemarinya terus bergerak mencari sebuah lagu yang menurutnya pas untuk di dengarnya.

Arsyad sudah menemukan lagu itu. Lalu bergegas menyetel lagu itu.

Lama kelamaan air matanya mulai berlinang setelah mendengar lagu itu. Baginya, lagu berjudul Harapan ini memiliki makna tersendiri bagi Arsyad pribadi.

Ada sebait liriknya yang membuatnya selalu teringat akan gadis itu. Di dalam lirik itu terdapat kalimat jangan pergi. Yang di maknakan sebagai ungkapan Arsyad untuk menahan Aka agar tidak pergi dari kehidupannya. Agar Aka mau bertahan dengannya. Namun apa daya tangan tak sampai. Usaha Arsyad tak berjalan sempurna. Aka pergi meninggalkan Arsyad. Menyia-nyiakan usaha Arsyad untuk bertahan bersamanya.

Arsyad mengatur nafasnya. Lalu beristighfar. Pemuda itu kembali fokus mengemudikan mobil mungilnya.


Arsyad & Wawan: Aroma LiterasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang