Festival

1.1K 111 18
                                    

Tak menatap wajahku, matanya lebih terfokus pada reruntuhan hangus yang kini menjadi alasan air mataku tidak kunjung berhenti.

Ditariknya pundakku, kurasakan tangan kanannya menahan kepalaku hingga membuat diriku tertarik mendekat kearahnya. Hangat tubuh itu yang kini menjadi pelampiasan rasa sakit dan lega yang bercampur tidak karuan.

Raungan penyesalan tidak bisa mengembalikan apa yang telah terjadi. Jika saja kemampuanku adalah memutar waktu, aku tidak akan membiarkan ayah sampai berbuat nekat.

Tapi… Ayah saking menyesal dengan segala perbuatannya atas diriku sehingga nekat seperti ini sungguh bagiku tidak adil. Mengapa Tuhan tidak memperbolehkanku memeluk ayah sebentar saja, tidak.. Bahkan memanggilnya saja tidak bisa.

“Kejam.” Ucapku penuh pilu dan amarah. Namun tak ada lagi yang dapat aku lakukan selain menangis dan meratapi semua ini.

Tubuhku layu, hanya satu yang dapat menopangnya untuk saat ini, ia membawaku pergi. Memisahkanku dari sebuah tragedi kelam lainnya yang terjadi didepan mataku begitu saja.

---------------------

Ramai, sorak-sorai dimana mana, aroma khas makanan tradisional mengingatkan ku pada malam sekitar 12 tahun yang lalu.

Namun semua hal yang terasa dimalam itu, bertemu ironi dalam dadaku. Hatiku kosong dalam sekejap mata, gemetar, dingin, sembab.

Bibirku tak ada hentinya gemetar, rasanya hatiku kosong. Pandanganku gelap walaupun tempat ini penuh cahaya, cahaya berkilauan yang tidak hentinya membuat riuh keributan. Aku bertanya, mengapa cahaya itu sungguh indah ditengah malam gelap gulita? Mengapa ia tidak termakan oleh gelapnya malam?

"Ayah! Aku mau permen kapas!"

Suara cempreng tidak asing berdengung di kepalaku, suara itu menari nari menemaniku dalam gundah.

"Ayah, kenapa ibu suka kembang api?"

Katanya karena mereka indah dan membawa kebahagiaan, apa apaan itu? Benda yang dibuat seperti pembuatan bom itu membawa kebahagiaan?

"Whoaahh, ayah bisa buat kembang api juga??"

Dasar bocah naif, jika saja kau tahu kenyataannya sejak dulu. Kau tidak perlu terisak seperti ini.
Walau memang ini bukan sepenuhnya salahmu.

"(Y/n), kau tidak ingin pulang?"

Aku menggeleng, masih menenggelamkan wajahku- tak ingin seseorang melihatku selemah ini. Memalukan, aku merasa tidak ada apa apanya. Bahkan dengan kekuatan yang terkubur dalam diriku saat ini.

"Musim panas memang selalu meriah ya." Ucapnya, namun kini lebih lembut dari yang aku kira. Kurasakan sesuatu menyentuh pundakku, pelan menariku hingga kurasakan hangat lain menemani. Tidak sepatah kata dia ucapkan.

Aku seka air mata perlahan, mencoba menarik udara untuk mengisi paru paruku yang sembab.

Dia tidak bergeming, hanya berdiri disana. Aku mendengar ia menelfon seseorang, ah bos Mori. Entah apa yang akan dia katakan ketika melihatku terpuruk tak berguna seperti ini, namun jika ia memecat atau mengeluarkanku juga aku tidak peduli.

Aku ingin pergi.

"Chuuya?"

"Diam, jangan banyak bicara."

Sudah aku duga, dia memang tidak banyak berubah. Chuuya yang dulu ku kenal, sampai sekarang.. Apakah ia masih marah padaku soal itu?

Aku berdiri dari tempatku, menyeka air mata. Ia melihatku, sekilas. Lalu kembali fokus menatap handphone nya. Apakah dia sungguh peduli padaku? Atau hanya sekedar iba melihatku yang hancur luluh lantak seperti saat ini. Kalau begitu mengapa kau datang padaku, mengapa kau membawaku kemari.

Kau tahu aku benci kembang api?

"Buang masa lalumu, jangan terpaku padanya." Apa ini, ia tersenyum. Chuuya yang ku kenal tidak seperti ini.

"Bagimu mudah mengatakannya, kau pikir.. Setelah melihat semua didepan mataku begitu saja akan--" Aku bungkam, tidak bisa bibirku ini kembali mengeluarkan kata kata apapun, air mata yang terasa membeku di pipiku kini kembali terasa hangat. Ciuman singkat yang ia berikan pada kening sudah cukup membuat ku kembali luluh oleh sikap lembutnya yang terkadang membuatku ingin menghajarnya habis.

"Mengapa?" Satu kata saja yang dapat terucap, senyuman Chuuya luntur bersama angin. Bangkit dari tempat nya, kedua manik itu kembali menatapku merendah. Seakan jiwanya yang asli kembali.

"(Y/n), kembalilah ke ADA, jangan pernah tolehkan wajahmu lagi pada port mafia. Urusanmu dengan kami telah selesai." Langkahnya menjauh, tak dapat ku raih, menuruni satu dua anak tangga, ia berhenti.

Senyum itu yang terakhir kali ku lihat, "... Sudah lama aku menyimpan, jangan.. Jangan buat aku berubah pikiran. Kau tidak salah, (Y/n), aku minta maaf.. Walau sikap ku memang tidak bisa dimaafkan." Ku bangkit tersentak tanpa aba aba, manikku terbelak, tidak terbayang kata kata yang akan diucapkan Chuuya saat ini. Rasanya hal itu mustahil.. Setelah segala yang terjadi.

".. Chuuya kau bodoh." Kupeluk erat diriku, serasa hangat namun hambar, hampa dan asing. Bahkan pada diriku sendiri.

"...Anggaplah kita tidak pernah bertemu. Dan apapun yang terjadi disini malam ini, tidak pernah terjadi. Selamat malam.. (Y/n) (Y/l/n)."

Bibirnya bergerak, tanpa suara sambil memutar dirinya lalu lenyap ditelan cahaya, entah apa katanya, semua lenyap tanpa sisa..

Sekian, memang tidak pernah memberiku sedikit saja harapan. Namun dalam setiap kata ia lontarkan, aku merasakan getaran hebat. Sungguh, terasa seperti ia tidak pernah menginginkan hal ini untuk terjadi.. Ia hanya..

"Terpaksa." Suara surai cokelat ikal menggema ditelingaku, maniknya penuh rasa prihatin, namun juga tenang. Seakan ia tahu semua ini akan terjadi, namun tetap menolak kenyataannya.

"Demi kebaikanmu, ia melepaskan rasanya padamu. Chuuya bodoh ya, haha ~" Ia mengangkat badanku perlahan, masih diusahakannya menyangga tubuhku yang mudah sekali rubuh. Aku hanya mengangguk perlahan, ya.. Chuuya memang bodoh.

Aku pun bodoh.
Tidak sadar bahwa selama ini ia menyiksa dirinya sendiri, hingga akhirnya melepaskanku. Dan sampai detik ini pula aku masih menaruh harapan padanya, bodoh sekali ya?

"Kau memaafkannya?" Dazai kembali angkat bicara, tanpa melirik ku sedikit saja. Serasa membicarakan hal ini tidak terlalu menarik minatnya, lagipula dua orang ini memang tidak pernah saling suka.

"Ya.. Aku memaafkannya."

Sejak awal, aku tidak pernah bisa... Tidak pernah bisa menyatakan yang sesungguhnya. Perasaanku, atau apapun. Tidak pernah aku membenci Chuuya, sungguh.. Tidak pernah. Aku termakan emosi, segala hal terlontar begitu saja dari dalam diri.

"Dan aku minta maaf.." Bisikku sangat perlahan, Dazai tertawa pelan, digenggamnya tanganku sembari ia bersenandung, seakan ia mendengar apa yang baru saja kukatakan. Toh aku tidak terlalu peduli, cukup mengatakannya, rasanya aku lega.

"Okaerinasai, akhirnya kau memilih jalanmu." Tangan itu mengelus kepala ku, kugembungkan pipiku, sambil  memeluk diri, ia mengantarku pulang. Hanya saja.. Segala hal terasa hangat.



Long time no see, huh?
It's me, remember? No? Alright.
Terima kasih yang sudah baca buku ini hingga mencapai 15k reads, thank you so much ~

Dan ya, banyak hal yang terjadi selama sy menghilang, syukurlah sy berhasil melewati segala hal. Dan kembali mengupdate cerita ini hshss.

Dikit lagi nyampai di ending, hehe ~
Stay save and stay healthy guys.

Your Heart (Dazai x Reader x Chuuya)Where stories live. Discover now