Fangirling?

59.5K 4.9K 146
                                    


Bab 6:Fangirling?

"Kata siapa jadi fangirl itu nggak berfaedah?
Hati yang hanya tertuju pada Oppa, secara nggak langsung jadi upaya menjaga hati buat pasangan masa depan.
Iya nggak?" - Aranea.

***

"Ara! Disimpan dulu handphone kamu!"

Aku memutar bola mata bosan. Tadi adalah kesekian omelan Mama yang kudengar dan tak kunjung berhenti.

"Ma, hari ini bias pertama aku ulang tahun! Aku lagi streaming nih."

Mama berdecak kesal. "Kamu ini, katanya tenaga kesehatan, lak yo mesti ngerti to, tujuan opname apa? Bedrest. Bukan fangirling."

Aku memasang wajah memelas. "Ma, lihat wajahnya Myungsoo Oppa, nyeri perutku hilang. Mungkin, kalau streaming sampai selesai aku langsung sembuh!"

Mama menoyor kepalaku, membuatku mengaduh kesakitan. "Mana ada yang begitu! Terserah kamu, kalau mau nginap disini lama-lama."

Menghiraukan Mama yang akhirnya menyerah dan memilih membaca novel yang aku pinjam dari Rere, aku masih asik menyanyikan lagu saengil chukkae hamnida* sambil ketawa cekikikan. Ya ampun, kok ada sih manusia setampan Myungsoo! Visualnya di MV Tell Me itu maksimal banget, buat aku teriak-teriak waktu MV itu pertama rilis.

"Permisi."

Suara baritone yang kini mendadak familiar ditelingaku, membuatku menoleh sekilas. Mau apa dia kesini?! Setelah kata-kata menyakitkannya kemarin, dan berakhir dengan sama-sama mengungkapkan rasa benci, untuk apa dia datang ke kamarku? Minta maaf? Mustahil!

"Eh, dokter! Silahkan masuk dok!" ucap Mama dengan wajah berbinar. Curiga nih, kalau-kalau setelah ini ada kejadian di luar ekspektasiku.

"Saya mau visit, sekalian periksa kondisi Ara. Boleh ya bu?" kata Erlangga sok manis.

Mama mengangguk, "Silahkan dok! Dokter kenal Ara? Kok Ara nggak cerita punya kenalan laki-laki setampan dan sebaik dokter?"

Sebelum Erlangga menjawab pertanyaan absurd Mama, aku lebih dulu menyela. "Ngapain disini? Bukan dokter bangsal juga."

Dia menghela napas, seperti menahan amarah. Memang dia saja? Aku juga! "Saya menggantikan dokter Audy, kebetulan nggak bisa visit hari ini. Baring dulu, saya mau periksa kamu."

Aku kembali menatap layar smartphone milikku, sedang menampilkan wajah fullface milik L Oppa. Lihat yang begini saja sudah bahagia, apalagi ketemu langsung.

Aku masih memasang senyum, berkata sambil mengetikkan komentar. "Neomu saranghae** oppa! From eLements Indonesian!"

Namun, tak berlangsung lama, ketika smartphone milikku, raib begitu saja. "Nggak berubah." Katanya ambigu. "Gila kamu ya, ketawa sendiri, ngomong sendiri. Cowok pakai bedak kok ditonton!"

Siapa lagi pelakunya jika bukan Erlangga Abiandra? Aku berusaha menggapai smartphone yang ia sembunyikan dibalik badannya. "Balikin! Memang ganteng dia dimana-mana kok daripada dokter! Dokter nggak usah mencela wajah orang lain yang lebih tampan dong!"

Dia masih mencoba menyembunyikan smartphone-ku. "Kamu mau saya rujuk ke dokter Ardi, atau ke dokter Hendri? Pantas kalau ngomong sama kamu pakai urat terus. Mau diperiksa juga malah ketawa sendiri."

Enak saja aku disamain pasien kejiwaan! Dia tuh yang nggak waras! Yang namanya lagi fangirling mana bisa diganggu! "Ya namanya juga fangirling dok! Ah, mana dokter tahu, dokter kan, bisanya ngajak saya berantem!"

Dia mendengus, "Baring dulu, setelah saya periksa, saya kembalikan milik kamu. Jangan banyak gerak nanti infus kamu lepas."

Erlangga mengambil pergelangan tanganku, melihatnya dengan teliti, kemudian berdecak. "Tuh! Lihat lepas infusnya. Lama-lama saya suntik diazepam*** kamu!"

Aku melirik punggung tanganku yang berbalut infus merembes sedikit darah. "Ya gara-gara dokter sembunyikan smartphone saya! Saya jadi nggak bisa streaming sampai selesai!"

Dia menghela napas sekali lagi, "Salah saya lagi? Memang ya, saya ini nggak pernah benar dimata kamu."

Kemudian netranya bergulir pada Mbak Aster yang dari tadi hanya mengekor diam dibelakangnya. "Kamu benarkan infusnya, supaya nggak infeksi." katanya dengan nada memerintah. Seperti biasa.

"Saya permisi dulu ya bu." katanya pada Mama, sambil tangannya terulur mengembalikan smartphone-ku yang tadi dia sembunyikan di saku snelli-nya.

"Eh, dokter sebentar! Ini buat dokter, makan siang. Maaf ya dok, makanan rumahan, bukan makanan restoran." kata Mama sambil memberikan satu kotak makan pada dokter itu.

Erlangga menolak halus. "Nggak perlu repot-repot bu. Saya habis ini ada siaran di radio."

Ya, Nirwana tak hanya merawat pasien yang sakit, tetapi ada salah satu kegiatan kami berupa penyuluhan, baik di radio, maupun di daerah tertentu. Bukan hanya dari kalangan dokter, tetapi dari berbagai bidang yang lain, seperti gizi, ataupun dari farmasi. Mengupas tuntas masalah kesehatan dari berbagai sumber dan sudut pandang.

Mama memaksa Erlangga menerima kotak makan yang ia bawa tadi. "Ya, terserah mau dimakan kapan, pokoknya saya kasih ke Nak dokter, hitung-hitung rasa terimakasih saya sudah rawat Aranea, apalagi bisa nurut sama dokter seperti tadi! Dia itu suka lupa segalanya kalau sudah berhubungan dengan idolanya itu. Sampai saya khawatir, kalau nanti dia nggak laku karena sampai sekarang masih jomblo seumur hidup."

Erlangga tertawa, membuatku mendengus. Bisa-bisanya mama membongkar aibku pada manusia yang bukan siapa-siapa dihidupku!

"Ih Mama! Daripada aku punya pacar nggak jelas mending aku jadi fangirl! Hati aku masih new buat pasangan masa depan aku! Apaan sih, pakai cerita sama orang nyebelin kayak dia!"

Semua orang diruangan itu tertawa, kecuali aku. Memang apa yang lucu? Bukankah bagus, setidaknya pasangan masa depanku kelak akan sedikit beruntung, karena hatiku belum tersentuh siapapun, kecuali Oppa, tentu saja.

"Ya sudah, saya terima, terimakasih banyak ya bu. Saya bahkan lupa bagaimana masakan seorang ibu." katanya, memandang Mama dengan wajah berbinar. Memang ada apa dengan Ibunya? Aku menolak peduli.

Sedetik kemudian melirik sinis kearahku. "Berhadapan dengan anak Ibu memang harus pakai tenaga ekstra."

Aku balas menyindirnya. "Ya dokter sih, bikin urat saya keluar terus! Lagipula saya sama dokter-dokter Nirwana yang lain baik-baik aja tuh!"

Ia mendengus. "Capek saya debat sama kamu terus. Memang nggak ada kegiatan yang lebih berfaedah daripada jadi fangirl? Nggak mau jadi perempuan dewasa gitu? Ngomong sama kamu itu kayak ngomong sama anak SMP."

Aku masih meladeninya. Memang dia saja yang bisa nyinyir? "Ya salah dokter, bales terus nyinyiran saya! Daripada saya mainin hati cowok, mending saya tersesat dihati Oppa! Jangan berspekulasi yang tidak-tidak tentang saya ya! Saya sama dokter itu nggak pernah kenal, semesta aja yang buat kita tiba-tiba ketemu! Dewasa itu relatif, jangan seolah-olah dokter sudah mengenal saya, terus ngomong seperti itu, seenak jidat!"

Kali ini dia kembali menatapku, sedangkan Mama dan Mbak Aster menahan senyum. Apa-apaan? "Dikurangin dulu nyinyir-nya. Gimana bisa sembuh kalau tenaga kamu terkuras buat hal yang nggak penting seperti ini?"

Kemudian hal yang tidak aku duga kembali terjadi ia tersenyum begitu lebar, sebelum kembali berkata, "Cepet sembuh. Jangan banyak-banyak mikir cowok pakai bedak." katanya dengan senyum menyebalkan.

Fix! Dia manusia yang benar-benar aku benci!


*Selamat Ulang Tahun.

**Aku sangat mencintaimu Kakak!

***Salah satu psikotropik yang digunakan sebagai penenang.

Acc Dok? (TERBIT)Where stories live. Discover now