Ganteng Tapi Nyebelin, Apa Bagusnya?

69.9K 5.6K 42
                                    

Bab 2 : Ganteng Tapi Nyebelin, Apa Bagusnya?

Dan tak ubahnya, pertemuan kembali menghadirkan rasa 'benci'

***

Semenjak insiden dokter Erlangga yang mampir ke divisiku, para Unyu masih sama hebohnya seperti kemarin. Padahal aku yang tatap-tatapan sama mas dokter, biasa aja. Nggak tahu besoknya. Hari ini, Instalasi Farmasi Rawat Jalan sangatlah ramai, kami bisa menerima sepuluh resep dalam waktu satu detik. Alhasil, resep mulai menumpuk dan kami mulai kewalahan.

Begini, tidak enaknya jika banyak dokter praktek bersamaan. Belum lagi pasien yang terkadang tidak bisa menerima keadaan. Enggan menunggu lama, dan ingin mendapatkan obat secepat mungkin, padahal jumlah pasien dalam sehari bisa lebih dari seribu orang.

Semenjak ada BPJS mau tidak mau kami memang harus kerja cerdas, kilat, dan tanggap. Jumlah pasien juga meroket drastis berkali lipat dari tahun ke tahun. Tetapi kami yakin, dengan ini kualitas kesehatan masyarakat akan semakin meningkat pula dari tahun ke tahun.

Ibaratnya, pasien adalah aliran sungai, dan kami, divisi farmasi adalah muaranya. Sebanyak apapun pasien, mungkin bagi yang berada di divisi lain, masih dalam batas wajar, karena jumlah seribu terbagi dalam tiap-tiap bagian mereka. Sedangkan farmasi? Sudah dipastikan 80% pasien akan mendapat obat, jika tidak dapatpun, tindakan yang dilakukan tidak jauh dari aspek kefarmasian. Alat kesehatan dan segala peralatan medis juga termasuk dalam ranah kami.

Terkadang, jika kami benar-benar merasa lelah, kami menganggap pasien adalah rayap, dan kami adalah kayu yang siap serbu. Suwe-suwe gapuk*. Begitulah terkadang pikiran manusia kami bekerja. Tetapi jika sudah ingat sumpah profesi, langsung merapal mohon ampun karena khilaf, dan kembali bekerja dengan penuh semangat. Apalagi jika sudah mendapatkan senyum, dan semangat untuk sembuh dari pasien setelah menyerahkan obat rasanya ada kebahagiaan tersendiri.

Resep pasien yang sedang aku kerjakan hanya mendapat dua jenis obat. Elixir*, dan tablet. Dan sekarang, aku sedang tidak beruntung. Menengok rak sediaan cair, elixir yang ingin aku ambil tidak ada di tempat.

"Re, elixir-nya IR nggak?" Aku bertanya pada Rere yang sedang entry*** resep di depan.

"Iya Ra, IR gudang, tiga biji."

Aku mendengus. IR atau Internal Request adalah istilah yang kami gunakan untuk permintaan stok obat yang mulai menipis atau kosong. Artinya, aku harus lari ke gudang jika resep ini benar-benar CITO.

"Ara bawa punya Pak Sujiwo? CITO ya Ra, pasien umum." Kata Bu Dea yang tiba-tiba menghampiriku.

Aku menghela napas pasrah. "Laksanakan bu! Segera dengan kekuatan kilat!" Ujarku, segera mungkin meninggalkan ruangan.

Setelah berhasil mengambil obat dari gudang, aku bermaksud menggunakan lift supaya lebih cepat. Gudang berada di lantai dasar gedung barat, sedangkan Instalasi Rawat Jalan berada di lantai dasar gedung timur, sehingga kami harus melewati jembatan yang ada di lantai tiga.

Namun, sepertinya, takdir sama sekali tidak memihakku. Lift yang aku naiki malah melaju menuju lantai empat. Aku pasti kalah cepat menekan tombol lift tadi. Dan aku hanya bisa pasrah kali ini.

Ketika lift terbuka di lantai empat. Aku terkesiap ketika sosok dokter Erlangga terlihat bercakap-cakap dengan seseorang melalui smartphone-nya. Sedang tangan kirinya menahan lift agar tetap terbuka. Detik berlalu, tetapi dokter yang katanya tampan itu masih enggan memasuki lift. Apa karena ada aku yang kamseupay ini ya?

Suara plastik kresek yang bergesekan dengan dinding lift membuatku tersadar, bahwa masih ada tanggung jawab moral yang aku emban. Dengan gugup aku bertanya, "Dok maaf, masih lama enggak ya masuk lift-nya? Saya bawa obat, CITO.****"

Tetapi, pria dengan jas putih itu masih bergeming. Barang sedetikpun tidak menoleh kearahku. Membuatku sedikit gondok "Dokter Erlangga, apa anda masih menunggu seseorang? Jika masih lama, mohon liftnya close dulu, atau saya harus turun tangga karena bawa obat CITO?"

Akhirnya pria itu menoleh dengan wajah pongah, tetapi sekalipun dia tidak meninggalkan tombol lift untuk segera menutup. "Silahkan." ungkapnya singkat.

Tunggu-tunggu! Dia nggak bermaksud menyuruhku untuk menuruni empat lantai 'kan?

Memberanikan diri, aku melihat wajahnya. Tatapannya tajam, sangat berbeda ketika ia membeli obat dulu. Dan hal ini membuatku bergidik. Aku memilih keluar lift, dan berlari menuruni tangga. Karena dia sama sekali tidak menunjukan pergerakan, membiarkan lift tetap terbuka. Aku kesal. Sangat kesal. Sungguh! Bukan karena lelah fisikku karena harus estafet menuruni 4 lantai sekaligus, tetapi karena empati dokter baru itu yang membuatku menjadikannya sebagai orang pertama yang kuhindari. Jangan-jangan keramahannya waktu itu hanya pencitraan? Percuma ganteng kalau nyebelin! Apa bagusnya?


*Bahasa jawa: lama-lama rapuh.

**Sediaan obat berupa cairan yang terkandung air dan alkohol, mengandung lebih sedikit gula disbanding sirup.

***Istilah yang digunakan untuk memasukan data resep ke computer.

****Istilah medis yang harus segera dilakukan karena keadaan darurat.

Bersambung...

meski responnya masih jauh, aku posting pelan-pelan yaa, krn babnya memang aku hapus bukan unpublish, kalo cuma unpublish mungkin viewnya tetap sama per rata2 bab. thankyuu

Acc Dok? (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang