Periksa

61K 5.4K 48
                                    

Apa sebuah pertemuan bisa diupayakan?

***

Setelah insiden curhat mengharu biru Abigail Eirene Shallom dan insiden caramel milk tea yang membuatku enggan dan tidak respect pada dokter muda yang katanya tampan itu, di tengah perjalanan hujan turun benar-benar lebat, dan aku sudah terlanjur basah kuyup. Alhasil ketika sampai rumah, badanku demam, tenggorokanku sakit, perutku mual, dan tentu saja ingus membanjir kemana-mana. Entah sudah berapa kali anak-anak Unyu dan para senior menyuruhku untuk periksa, dan aku masih enggan.

"Ra, periksa, biar dapet obat gratis, dan cepet sembuh. Sepi nih, kamu nggak bawel." kata Tsania sambil menepuk pelan punggungku.

"Iya, siapa tahu kamu di periksa sama dokter Erlangga, kan lumayan bisa modus dikit!" seru mbak Nesya sambil menaik turunkan alis.

Aku mendengus, "Ogahlah! Kalau diperiksa dokter sok kecakepan itu mending nggak usah periksa aja."

"Kok kamu bisa sebel banget sama dokter Er? Jangan-jangan kamu korban patah hati ya?" tanya Dina sambil menaikan alis.

Tuh kan mulai rumpinya! "Amit-amit deh, siapa juga yang patah hati. Apalagi sama pria arogan macem dia, mana ada wanita yang tahan?"

"Kemaren kan, Ara habis perang caramel milk tea sama dokter Er." ujar Rere dengan seringai menyebalkan.

"Serius? Kalian hutang cerita ya, habis ini. Dan kamu Ra, sekarang ikut aku ke Poli, kita periksa, daripada kamu tumbang berhari-hari." kata Mbak Nana sambil mengamit lenganku.

Aku hanya mengangkat bahu, memang apa bagusnya berantem sama dokter sok cakep itu? Ah, mana badanku rasanya masih nano-nano, pegang obat aja gemetar. Setibanya di Poli Umum, Mbak Nana bertanya pada Mbak Lena, salah satu perawat disana. "Mbak dokter umumnya siapa ya? Si Ara tepar tuh." ucapnya sambil melirikku.

Sedang aku masih bersin-bersin tanpa berhenti, mataku merah berair, rasanya perih sekali.

"Wah, Aranea beruntung banget nih, hari ini yang jaga Dokter Erlangga lho! Lumayan diperiksa dokter ganteng." ucap Mbak Lena sambil tersenyum jahil.

Aku melotot, setelah insiden kemarin, mana mau aku bertatap muka dengan dokter sok cakep itu! Apalagi dia pasti tersenyum meremehkan aku yang lagi lemah ini!

"Mbak, aku periksa di IGD aja deh, dokter Fanya-eonni 'kan yang jaga?" ucapku memelas.

"Nggak bisa Ra, IGD lagi rame banget, Dokter Edgar sama Dokter Elliot aja sampai turun bantuin. Lagipula status pasien kamu sudah ditangan Dokter Erlangga sekarang, sebentar lagi pasti dipanggil."

"Yaudah kalau gitu aku periksa di KIA* aja! Ada dokter Shasha kan?" ucapku masih ngeles.

"Nggak bisa juga, hari ini 'kan jadwalnya imunisasi. Kamu ini kok ya sensi banget sama dokter Erlangga, disaat yang pada sehat aja pengin pada periksa karena yang jaga dia, eh kamu malah mau kabur. Udah ayo masuk, polinya sudah kosong tuh!"

Sekarang aku benar-benar berakhir di poli umum, setelah insiden ditarik dan dipaksa dua perempuan yang akan melepas masa lajangnya tahun ini.

"Dengan Aranea ya? Bisa di lepas maskernya? Saya perlu periksa tenggorokan kamu."

Aku melepas masker dengan ogah-ogahan. Sepertinya dia akan tahu siapa aku.

"Dari divisi farmasi toh. Bisa sakit juga, nggak gara-gara kebanyakan minum Chat Time 'kan?" katanya dengan seringai menyebalkan.

Aku mendengus, tapi masih diam. Enggan membalas ocehannya.

"Gimana rasanya perut kamu?"

Aku mulai merasa horror begitu melihatnya seakan siap menyuntikku kapanpun. Oke, ini memang sedikit alay, tapi biasanya feeling Aranea benar. "Jangan disuntik dok! Kasih obat oral saja, saya masih kuat kok! Tapi jangan disuntik pokoknya! Perut saya emang rasanya nano-nano, tapi udah mendingan, jadi nggak usah disuntik pokoknya!"

Aku punya pengalaman buruk dengan jarum suntik. Dan aku sangat enggan bersinggungan dengan benda tajam itu lagi. "Nggak berubah." gumamnya. Membuatku sedikit bingung dengan maksudnya. "Tapi memang harus, kamu tahu sendiri, kalau absorbsi obat injeksi lebih cepat dari obat oral. Mau ya?"

Aku melirik Mbak Nana minta bantuan, tetapi dia hanya tersenyum, seolah berkata, udahlah terima saja. Entah kesambet setan mana, aku malah mengangguk.

Sedang dokter Erlangga masih tertawa menyebalkan. Membuatku ingin menonjoknya dengan stampher**.

Aku ingin membalas nyinyiran dan ocehannya. Tetapi Mbak Lena sudah kembali dengan peralatan yang membuatku ingin menangis.

"Relax ya..." kata dokter itu. Dan aku hanya bisa memejamkan mataku erat-erat.

Tetapi aku tak kunjung merasakan jarum menyentuh kulitku. "Nggak bisa kalau kayak gini, kamu masih ketakutan, dan vena kamu bakal susah dicari. Kamu boleh maki-maki saya sepuas kamu, anggap jarum suntik ini nggak pernah ada."

Aku masih diam, biarin aja, kalau begitu kan, aku nggak jadi disuntik! "Aranea, kamu mau sembuh, kan?"

"Yaudah dok! Kalau gitu nggak usah suntik saya, kasih obat oral aja, beres! Besok juga saya pasti udah sem—" perkataanku terhenti berganti jeritan keras. "ADUH!" pekikku.

Dokter ini benar-benar, mau nyuntik nggak kasih aba-aba, sedangkan Mbak Lena tersenyum puas, karena berhasil memasukan injeksi dalam tubuhku.

"Sakit... Dokter nggak punya perasaan!" aku masih mengaduh, dan aku tahu aku sudah menangis. Peduli amat sama image, aku beneran pengin nangis keras-keras.

Aku semakin kesal ketika ketiga manusia di dalam ruangan itu malah tertawa, membuatku semakin kesal. Entah kemasukan setan dari mana, dokter Erlangga menepuk pelan puncak kepalaku. "Cepet sembuh, udah ya jangan nangis. Udah bawel, cengeng lagi. Drama queen as always."

Aku membuang muka, aku beneran pengin cakar muka sok gantengnya itu! Sedangkan Mbak Nana, dan Mbak Lena malah saling menyenggol siku.

"Ara dapet obat apa aja dok?" tanya Mbak Nana ketika Erlangga menulis resep.

"Banyak," sahutnya singkat. Sedang tangannya masih bergerak diatas lembaran resep.

Aku mendengus, sedikit melirik obat apa saja yang aku dapat. "Itu obatnya ada yang nggak masuk Jamkes Rumah Sakit*** dok!"

"Tapi yang injeksi masuk kan?"

Aku mengangguk. Sedang dokter itu mengerutkan alisnya, mungkin lelah karena menghadapi sikapku, dengan tangan yang masih bergerak mengganti obat yang masuk formularium. Mungkin dia baru saja ingat.

Mbak Lena dan Mbak Nana masih lirik-lirik sambil senyum-senyum nggak jelas, sedang aku masih adu tatapan dengan dokter menyebalkan itu. Mengusap kasar sisa air mataku yang menganak sungai, aku langsung mengambil resep dari atas meja. Fix, dia ngajak perang! Dan mulai detik ini, Aranea Chrysanna menjadi pembenci nomor satu Erlangga Abiandra!

BERSAMBUNG..

pemanasan dulu sama Mas Er yaa

*Klinik Ibu dan Anak

**Alat untuk menggerus dan mencampur tablet dan racikan menjadi puyer/pulveres.

***Fasilitas kesehatan yang diberikan Rumah Sakit untuk pegawainya. Berisi fasilitas dan obat yang ditanggung Rumah Sakit.

Acc Dok? (TERBIT)Место, где живут истории. Откройте их для себя