Bab V: Flashback #2

8 0 0
                                    

Dalam satu sesi terapi, terapis Raven pernah bertanya, "kenapa kau memilih bekerja di toko bunga?"

Waktu itu Raven menjawab asal, "soalnya wangi."

Terapisnya manggut-manggut.

Lebih karena Raven bingung harus menjawab apa. Dia sebenarnya bukan penggemar bunga. Raven bahkan tidak bisa menyebutkan jenis-jenis bunga ketika ia pertama kali melamar pekerjaan disitu. Pemilik toko dengan sabar mengajari Raven dan tujuh bulan kemudian, disinilah ia, bertugas merangkai bunga menjadi buket-buket cantik sesuai permintaan kliennya.

Setelahnya Raven menyadari, bahwa ia merasa nyaman dikelilingi ratusan tangkai bunga yang berwarna-warni. Rasanya seperti ada di dunia lain. Seluruh dunia Raven yang gelap rasanya runtuh setiap kali ia memasuki toko, disambut pot-pot berisi rimbunan bunga dan dedaunan. Aroma bunga yang Raven cium setiap kali ia memotong tangkai untuk dijadikan buket. Bau tanah yang tersiram air setiap ia menyiram pot-pot bunga di pagi hari.

Raven merasa telah menemukan rumah.

Raven merasa hidup.

* * *

"Raven, bawalah bunga krisan dalam buket itu," ujar pemilik toko di suatu sore, ketika mereka sudah akan tutup.

"Apa? Ah, tidak usah, Bu. Buketnya terlalu bagus," tolak Raven yang sedang membereskan apron dan kertas-kertas pembungkus. "Itu bukannya untuk dijual?"

"Tidak apa-apa, bawa saja. Untuk orang rumah."

Raven tidak bisa memikirkan satupun 'orang rumah'-nya yang bisa ia beri buket krisan – hari-hari ini Raven merasa ia tinggal sendirian di rumah itu. Tetapi ia juga tidak bisa menolak senyum ramah dari bosnya, dan membawa buket kecil berisi tiga tangkai bunga krisan aneka warna itu pulang. Ia sudah membayangkan akan menaruhnya di dekat jendela, serasi dengan warna gorden kamarnya.

Rumah Raven biasanya selalu terlihat sepi dari luar, karena tidak ada motor ataupun mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Namun sore itu rupanya menjadi sore yang lain dari biasanya. Raven kaget karena mobil ayahnya terparkir di sana.

Dengan pikiran gembira, Raven mengganti niatnya menjadi memberikan buket itu kepada ayahnya.

Rencana itu bubar ketika ia melihat sepatu hak tinggi yang diletakkan berantakan di pintu depan. Raven mendengar teriakan dan suara barang. Ia berlari cepat menuju sumber suara.

"...AKU SUDAH LELAH!!"

"...kenapa kau tidak mau mencoba...?"

"SEMUA INI GARA-GARA KAU!"

Raven mendengar suara ibunya. Raven mendengar suara ayahnya.

Raven mendengar suara pukulan dan erangan.

Buket krisan Raven jatuh ke lantai ketika ia melihat ruang keluarganya berantakan. Ayahnya terduduk di lantai, ibunya tampak gusar dan marah.

"Ibu!" teriak Raven, menghentikan tangan ibunya yang melayang.

"Tolong berhenti!" kata Raven lagi, jantungnya berdetak kencang sekali. "Aku mohon..."

"Raven," kata ayahnya tenang, tetapi suaranya tajam. "Jangan kesini."

Setelah perhatiannya teralih ke ayahnya, Raven bisa melihat warna kemerahan mengalir dari pelipis ayahnya. Apa yang telah dilakukan ibunya tadi telah melukai ayahnya.

"Ibu harus berhenti menyakiti Ayah!" kata Raven tegas, mendekati ibunya.

"Kau tidak mengerti, Raven. Kita hidup seperti ini gara-gara ayahmu tidak bisa menafkahi kita secara benar," ujar ibunya. "Orang ini tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya sendiri."

"Karena itulah kau pergi berhari-hari dengan anak-anak muda itu, hidup dari mereka seperti lintah?"

Ayah Raven sudah berdiri dan Raven bisa melihat darah yang mengalir dari pelipis ayahnya turun hingga mengotori baju yang ayahnya kenakan. Raven merasa matanya panas.

"Bisakah kalian berdua berhenti?" tanya Raven kemudian, meratap. "Aku hanya ingin keluarga yang normal..."

PLAKK.

Kalimat Raven berhenti ketika mendengar suara keras yang berasal dari ibu dan ayahnya. 

"Berani-beraninya kau bicara seperti itu," kata ibu Raven, tangannya terkepal, gemetaran. 

Raven bingung, dirinya tidak tahan lagi.

"Rupanya kalian berdua sama saja, ya. Ayah dan anak sama saja." Ibunya berjalan dengan cepat menuju dapur. Ayahnya mengikuti dengan marah, meninggalkan Raven yang berlutut di ruang keluarga.

"Oh, tidak..." kata Raven, seolah tersadar. Ia bangkit perlahan, mengusap air matanya, dan menuju dapur, tempat ibu dan ayahnya marah-marah seperti kesetanan.

Raven tidak begitu ingat kata-kata yang dilontarkan kedua orangtuanya kepada satu sama lain. Ia hanya mendengar ibunya menggebrak meja, ayahnya menendang kursi, satu pot bunga yang terpajang di meja dapur jatuh dan pecah. Pandangan mata Raven sudah pudar karena air mata yang menggenanginya, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"...di depan Raven!"

Raven mendengar namanya disebut, lalu ia mendongak.

"RAVEN!"

"KELUAR DARI RUMAH! SEKARANG!"

"KAU TIDAK PUNYA HAK MENGUSIR ANAKKU." Raven mendengar ayahnya berkata.

"RAVEN! KELUAR DARI RUMAH, SEKARANG!!"

Ibu Raven sudah tampak membahayakan dan Raven tidak bisa berpikir apa-apa. Ia melihat wajah putus asa ayahnya dari sela-sela airmatanya, lalu berlari keluar rumah. Sesuai permintaan ibunya. Ia harus selalu menuruti ibunya, kan?

Raven menyusuri trotoar, mengusap air matanya, menangis tanpa suara. Hari mulai gelap, Raven menyesali keputusannya meninggalkan ayahnya. Kemana dia harus pergi? Dia tidak punya rumah. Rumah keluarganya sudah dikutuk untuk tidak pernah memberinya kebahagiaan lagi.

Ia berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti kemana kakinya membawanya. Ia berbelok di persimpangan tanpa berpikir. Ia menyeberangi jalan tanpa menoleh kanan dan kiri. Ia memasuki halaman rumah seseorang. Ia menekan tombol di dekat pintu. Ia lalu menunggu, menunggu entah siapa yang akan membukakan pintu. Hati dan badannya sudah lelah sekali.

"Raven?"

Raven mendongak dan memandang orang yang berdiri di bingkai pintu, yang balas memandangnya dengan penuh kekhawatiran.

"Borneo," bisiknya. "Tolong aku."

* * *

Between The Purple Dawn (Bahasa Ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang