Bab II: Flashback #1

14 0 0
                                    

Makan malam biasanya dimulai dengan makanan pembuka, yang disiapkan Raven sejak dua jam sebelum makan. Hari itu, kedua orang tuanya pulang terlambat, jadi ia tidak tahu apakah ia harus menyiapkan makanan pembuka atau tidak. Raven tidak tahu apakah kedua orang tuanya akan pulang malam itu, dan dia juga tidak ingin berharap banyak.

Raven merasa lebih tenang kalau dia sendirian di rumah. Dia tidak akan mendengar suara-suara, atau teriakan-teriakan, atau bantingan pintu. Ia juga tidak perlu membereskan pecahan piring dan wine di dapur.

Gadis itu merebahkan diri di sofa ruang keluarga setelah menyusun cemilan di atas meja – es krim, sandwich telur yang dibuatnya beberapa menit yang lalu, keripik kentang, dan pitcher besar berisi jus jeruk. Ia lalu menyalakan televisi, mengambil mangkuk berisi es krim, kemudian menonton dalam kegelapan.

Ia tidak pernah merasa setenang itu. Ia tidak pernah merasa senyaman itu. Bisakah ia hidup seperti ini terus?

Lima menit kemudian, ia bangkit untuk meraih sandwich-nya.

Ketika itulah Raven merasa hatinya mencelos. Ia mendengar suara deru mobil yang masuk ke halaman depan rumahnya. Tetapi ia tidak mengenali suara deru itu. Mobil asing.

Raven meloncat dari sofa dan berlari ke arah jendela. Sebuah sedan silver terparkir di halaman, menghadap persis ke jendela tempat Raven mengintip. Ia mengawasi sekelilingnya dengan panik, melihat kalau-kalau ada sosok orang yang tidak dikenalnya di luar sana.

Alih alih, Raven melihat orang yang amat ia kenal.

Ibunya keluar dari pintu penumpang, tampak ceria, cantik dengan blazer dan make-up kasualnya, bicara pada entah-siapa yang duduk di kursi pengemudi. Ketika Raven mengalihkan pandangan ke kursi pengemudi, ia melihat seorang pria muda yang tidak ia kenal, tersenyum kepada ibunya.

Raven mendesah kesal, lalu menyentakkan tirai jendela dengan keras hingga tertutup. Ia sudah lelah. Gadis itu lalu kembali duduk di sofa, menaikkan volume televisi keras-keras. Ia sudah tidak peduli.

Tak lama, Raven mendengar seseorang membuka kunci pintu depan. Suara sepatu hak tinggi berketuk-ketuk di lantai kayu, kemudian ibunya muncul di ruang keluarga.

"Raven, kamu belum tidur?"

Raven benci suara lembut yang dibuat-buat itu. Ia menggeleng.

Ibunya tersenyum, lalu berjalan menghampiri Raven yang bergelung dengan selimutnya di sofa, menolak melakukan kontak mata. "Tidak ada PR?"

Yang ditanya hanya menggeleng.

"Cepatlah tidur," ujar ibunya. "Ibu... tidak pulang malam ini, ya. Ibu hanya pulang untuk mengambil baju."

"Terserah," ujar Raven tak peduli.

Ibunya tidak berkata apa-apa dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua, meninggalkan Raven dengan pikirannya sendiri.

Seharusnya Raven tahu bahwa pikiran-pikirannya itu berbahaya.

Gadis itu bangkit dari sofa, ia harus melakukan sesuatu sebelum kepalanya meledak. Setengah berlari ia menuju kamar ibunya, dan menemukan orang yang dicarinya sedang menyusun baju ke dalam koper. Ibunya tampak kaget ketika melihat Raven di pintu.

"Berapa lama ibu akan pergi?" tanya Raven tajam, matanya mengawasi tumpukan baju di atas kasur. "Sepertinya lebih lama dari malam ini, ya?"

"Raven, mau Ibu ceritakan pun kamu tidak akan mengerti," ibunya kembali mengatur baju-baju.

"Ibu tidak pernah mencoba." Raven mendengar suaranya bergetar.

"Kamu masih terlalu kecil."

Begitu mendengar perkataan ibunya, Raven seperti bisa mendengar pelatuk yang menyala di kepalanya.

"TERLALU KECIL?"

Ibunya pasti bisa mendengar perubahan nada suara Raven, karena beliau langsung menoleh.

"Ibu kira berapa sih umurku? Sebelas?"

Tidak ada respon.

"Ibu ingat tidak sih aku sudah senior? Sebulan lagi aku lulus sekolah? Aku sudah menyerahkan undangan wisuda minggu lalu? Sebelum ibu pergi selama SEMINGGU?"

"Raven..."

"Dan begitu melihatku apa yang ibu tanyakan? PR? Ibu bercanda ya?"

Ibu Raven sibuk mondar-mandir kamar untuk mengambil barang-barang.

"Mau sampai kapan Ibu memperlakukanku sebagai anak kecil?"

Raven benci melihat ibunya tidak bereaksi maupun merespon dirinya.

"Kita bicarakan nanti saja, ya, Raven. Ibu ditunggu..."

"MEMANGNYA AKAN ADA HARI LAIN?"

Ibunya tertegun. "Tentu saja ada, Raven. Ibu tidak lama, kok..."

"BOHONG."

Raven benci dirinya sendiri karena ia bisa merasakan airmatanya turun. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan ibunya. "Ibu mau sampai kapan sih seperti ini? Pergi berhari-hari dengan orang-orang yang baru ibu temui kemarin, hanya kembali ke rumah untuk mengambil pakaian dan sepatu?"

"Ibu tidak pergi dengan orang yang baru ibu temui kemarin," kata ibunya tegas. Beliau menutup kopernya dan beranjak keluar kamar, melewati Raven.

"Oh, jadi selama ini Ibu pergi dengan orang-orang yang Ibu kenal, aku mengerti. Selama ini Ibu hidup dari orang-orang itu, kan!" teriak Raven, dan hatinya puas sekali ketika melihat ibunya berhenti di lorong. "Kenapa tidak sekalian saja sih Ibu hidup bersama mereka kalau memang Ibu lebih bahagia hidup seperti itu!"

PLAK.

Air mata Raven terhenti ketika ia merasa perih dan panas di pipi kirinya.

"Sudah Ibu bilang, kan, kalau kamu tidak akan mengerti," kata ibunya kemudian, menurunkan tangannya.

Ibunya menghela nafas, lalu pergi bersamaan dengan koper yang ditariknya. Raven masih memegang pipi kirinya, perasaannya campur aduk.

"Asal kamu tahu," kata ibunya dari ujung lorong, sebelum menuruni tangga. "Ibu melakukan ini bukan untuk kesenangan Ibu sendiri."

Suara ibunya masih bergaung di telinga Raven bahkan setelah ia mendengar pintu depan ditutup.

* * *

Between The Purple Dawn (Bahasa Ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang