Bab IV: Orang Asing

8 1 0
                                    

Pusat kota kecil Rosecoast masih gersang dan panas, dan entah kenapa begitu sampai di jalanan ini Raven merasa lebih aman. Ia menginjak rem begitu mereka sampai di parkiran motel. Ada satu mobil yang terparkir disana, sebuah pemandangan baru bagi mereka berdua yang selama tiga hari ini merasa hanya sendirian di motel (para pelancong sudah pergi).

"Wah, apa ada tamu baru?" komentar Borneo, lalu keluar membawa petanya.

Raven menengok sekilas ke arah mobil itu, tetapi ia tidak ambil pusing. Cuaca yang panas mengalihkan perhatiannya, jadi ia mengambil brosur taman wisata dari dashboard dan menggunakannya sebagai kipas. Gadis itu lalu menyusul Borneo yang sudah memasuki lobi motel. Ia menemukan laki-laki itu berdiri di depan mesin minuman kaleng.

"Hey, Raven, kau mau cola atau jus?"

"Kopi," jawab Raven, yang diikuti cibiran Borneo.

"Ew, kau masih suka kopi kalengan?"

Raven baru akan membalas ledekan sahabatnya ketika mereka mendengar pembicaraan tamu yang berdiri di depan meja resepsionis. Dua orang tamu sedang berdiri disana, dua koper ada di samping mereka. Salah satu koper dipenuhi stiker-stiker sehingga warna asli koper nyaris tidak kelihatan.

"Benar sama sekali tidak ada kamar tersisa?" kata seorang laki-laki, agak terlalu keras. Kedengarannya kesal.

"Sayangnya, iya. Kami mohon maaf." Henry tersenyum menyesal. "Orang-orang membayar lebih awal untuk memesan tempat, kalian pasti tahu akan ada konser di kota dekat sini."

"Aduh, bagaimana ini, Ares?" ujar perempuan yang berdiri di sebelah pemuda yang dipanggil Ares.

Ares tampak berpikir keras. "Apa boleh buat, cari hotel di tempat lain saja."

Teman perempuan Ares merengut. "Yah, kalau begitu, terima kasih banyak, Pak..."

Kedua orang itu meninggalkan Henry sambil menyeret koper mereka berdua keluar lobi. Borneo yang selama tiga menit terakhir ini duduk di kursi teras lobi meloncat berdiri, menghampiri mereka. Raven tidak mengacuhkan – ia masih sibuk mengipasi dirinya sambil sesekali minum kopi kaleng.

"Pelancong juga?" tanya Borneo pada Ares yang raut mukanya kusut. Laki-laki itu mengangguk singkat, lalu beranjak menuju mobil untuk memasukkan kopernya.

"Kalau kalian mau, kalian boleh sharing kamar dengan kami. Kami pesan dua kamar," kata Borneo lagi, beralih mengajak ngobrol teman perempuan Ares yang kelihatannya lebih ramah.

Begitu mendengar kalimat Borneo, Raven menoleh dengan cepat hingga lehernya sakit. Ia membelalak bingung.

"Oh! Bolehkah?" tanya teman perempuan Ares girang, memandang Borneo dan Raven bergantian.

"Eh..." Raven berhenti mengipasi dirinya.

"Kalian mau datang ke konser Planetarium juga, kan?" tanya Borneo, menunjuk ke stiker-stiker yang menempel di koper yang diseret perempuan itu. Ada sekitar 4-5 logo Planetarium disitu, semuanya dari album yang berbeda, yang dikenali Raven.

"Betul!" kata gadis itu. "Ngomong-ngomong, aku Eliza. Dia Ares," Eliza mengedik ke arah Ares yang bersandar di sisi mobilnya, menyilangkan tangan di depan dada. Eliza lalu mengulurkan tangannya ke depan Borneo. "Kalian?"

"Oh! Aku Borneo, ini Raven," kata Borneo, menyambut tangan itu, lalu menunjuk ke Raven yang masih duduk, memandang Borneo tak percaya.

"Semua fans Planetarium adalah saudara," kata Borneo tertawa. "Hai, sesama fans!"

Eliza ikut tersenyum. "Bolehkah kami sharing kamar? Kami tidak tahu kalau semua motel sudah penuh."

"Kota kecil ini cukup dekat, sih. Biasanya fans memesan dari jauh-jauh hari. Apa kalian baru sekali ini menonton konser di luar kota?" tanya Borneo.

Between The Purple Dawn (Bahasa Ver.)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon