5 || Suatu Tempat

4.5K 839 92
                                    

Suara berdenging itu telah hilang. Dan kupikir, sama halnya denganku kemudian.

Kurang lebih ... hanya dua hal itu yang aku ketahui sekarang ini. Dan tidak ada keinginan lain, selain berharap agar nyawaku segera dicabut saja detik itu.

***

Sudah berapa kali kubilang kalau alam semesta ini terlalu luas untuk pola pikir manusia yang cenderung sempit? Oke, sebelumnya, kita harus jauhkan pemikiran-pemikiran tentang makhluk luar angkasa yang ingin merebut Bumi. Makhluk luar angkasa—sebut saja alien—tidak akan 'kurang kerjaan' seperti itu untuk menghancurkan kehidupan manusia hanya agar mereka bisa menguasai dunia ini. (Mengerti maksudku?) Yeah, mereka tahu lebih banyak, kalau alam semesta ini luas. Bumi cuma planet kecil layaknya debu. Bumi cuma segelintir planet yang hidup dari sekian banyaknya planet berkehidupan di alam semesta. Dan dengan membumihanguskan kehidupan kita, lantas tidak membuat mereka bisa menguasai jagat raya. Konflik di film-film itu hanya omong kosong. Para alien tidak akan menghancurkan satu sama lain karena ... alien itu diri kita sendiri.

Masih belum mengerti? Coba bayangkan. Ternyata di luar sana ada makhluk lain, mempunyai dua kaki dan dua tangan (yah, rata-rata fisiknya hampir sama dengan kita), tapi mereka tinggal di planet lain—planet yang berbeda dengan kita. Lalu suatu ketika, setelah melewati penelitian yang panjang, mereka mengetahui eksistensi kita di Bumi. Dan menurutmu, apa sebutan mereka untuk kita?

Alien. Makhluk asing.

Jadi, yah, alien adalah diri kita sendiri. Agak sulit menjelaskannya memang. Masalahnya kita sudah terkena doktrinasi soal 'alien dan pesawat terbangnya' atau yang dikenal dengan UFO. (Terkadang aku kagum oleh imajinasi mereka—yang membuat film-film konyol itu. Keren sekali penggambarannya.) Saranku, jangan membawa pemahaman kalian soal alien, makhluk luar angkasa, atau teman-temannya di sini. Ini adalah tempat baru di mana kalian melihat hal baru. Bukan menambah dugaan kalian sebelumnya.

Oke, dan sekarang, waktunya kembali.

***

Suara berdenging itu telah hilang. Dan kupikir, sama halnya denganku kemudian.

Kurang lebih ... hanya dua hal itu yang aku ketahui sekarang ini. Dan tidak ada keinginan lain, selain berharap agar nyawaku segera dicabut saja detik itu.

Rasanya aku seperti di dalam balok putih tak berujung. Bukan, bukan berjalan di dalam lorong balok-balok. Namun jatuh dari ketinggian tak terhitung. Coba bayangkan. Kau terjatuh, tetapi di sekelilingmu hanya putih polos tak berujung. (Oke, sebenarnya bentuk balok hanya penggambaranku saja.)

Ingat film Doraemon ketika menggunakan mesin waktu? (Duh, padahal aku tidak mau menjelaskannya menggunakan bantuan film-film, tapi apa boleh buat.) Ketika Doraemon dan teman-temannya berada di antara masa sekarang-masa lalu-masa depan. Atau contoh lain, ketika Alice masuk ke dalam cermin. Di saat dimensinya berhubungan terhadap dimensi lain. Kalau kau menonton film Alice Through The Looking Glass, kita akan melihat banyak ruang antar dimensi satu dengan yang lainnya di film itu. Kurang lebih seperti itu perpindahan dimensi. Kesimpulan, sebelum kita ke dunia selanjutnya, kita pasti melewati 'tempat transisi'.

Dan aku yakin ini tempatnya. Sekarang aku berada di fase itu yang entah kapan titik akhirnya.

Kepalaku sudah pusing, perutku mual setengah mati, aku bahkan tidak memiliki tenaga lagi untuk berteriak sekencang-kencangnya seperti awal-awal tadi. Tubuhku jatuh, terhempas, dan terguling-guling atau apapun istilahnya di ruang hampa udara. Rasanya ada gravitasi besar di bawah sana yang membuatku jatuh dengan kecepatan (yang terbilang) tinggi. Kalau bisa, aku mau melepas semua pasangan tubuhku satu persatu.

Aku sudah tidak peduli lagi di bawah sana ada apa. Entah api, lava, magma, atau sebangsanya yang bersuhu tinggi. Aku tidak peduli. Malahan mungkin lebih baik seperti itu. Terbakar atau hangus oleh lava yang panas luar biasa daripada jatuh selama ini. Setidaknya, ketika tenggelam di lava, aku langsung mati. Tidak sempat merasakan penderitaan. Ya, mungkin ini memang ajalku.

Dan kali ini aku baru sadar. Betapa nyamannya hidup manusia yang tidak pernah memikirkan perihal dimensi ruang alam semesta. Mereka tidak akan terjebak layaknya aku. Mereka tidak akan menemukan ruang hampa udara yang kuyakini sebagai tempat transisi. Mereka tidak akan tersiksa seperti ini. Mereka akan panjang umur, minum teh hangat setiap pagi, belajar-bekerja-menikah, sampai akhirnya cuma bisa berayun dengan kursi goyang di penghujung usia. Yang pasti, mereka menjalankan hidup dengan semestinya.

Hidup normal.

Aku sudah tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Mataku terpejam dan tubuhku terkulai lemas. Paru-paruku mulai kekurangan oksigen. Dan lama kelamaan, aku rasa, aku mulai hilang kesadaran.

Jason benar. Ini semua adalah kegilaan. []

***


a/n:

677 kata lebih. DAN SAYA BANGGA.

Iya, bab ini cuma jembatan bab kemarin ke bab selanjutnya nanti. Makanya saya enggak nulis banyak-banyak //alesan//.

Makasih yang udah komentar nyuruh saya cepet update—walaupun saya tetap ngaret—makasih banyak. Tanpa kalian, saya mungkin masih mager-mageran nonton anime/drakor/youtube di waktu luang :D. Minim motivasi memang.

By the way, di mulmed, tolong ditonton. Itu. Bagus. Banget. Titik. Video yang bikin saya tambah yakin kalau di luar sana masih banyak rahasia, tempat, bahkan makhluk yang kita belum ketahui eksistensinya.

Alam semesta memang seluas itu, bro.

"WHAAAT?!" said kaum flat earth.

Sekian author note yang kepanjangan ini. Maaf enggak bisa update sesuai ekspektasi kalian. Maaf enggak bales-balesin komentar (di Hertz maupun Rewinds) karena saya hiatus dua bulan (tanpa pengumuman) kemarin. And mostly, saya itu anaknya bingungan mau bales apa. Tapi semuanya aku bacain kok. Serius. Bahkan ada yang aku screenshot buat jadi mood booster ke depan. Yaaa, komentar kalian itu berpengaruh sekali sebenarnya :)). Dan tentu saja, makasih banyak buat kalian yang masih nungguin project ini update. Spread love!

So, sampai jumpa di abad selanjutnya!

Hertz ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang