24. Kehilangan....

Mulai dari awal
                                    

Sagita memperhatikan raut wajah Airin, dia tahu seberapa frustasinya menjadi seorang Airin Natta Cendana. Menolak perasaan laki-laki bukanlah perkara mudah, apalagi menjaga agar hati mereka tidak terluka dan berujung membenci, namun hal itu sudah menjadi santapan sehari-hari Airin. Dengan parasnya yang secantik bidadari, membuat para kaum adam berbondong-bondong menyatakan perasaannya. Dan Sagita paham betul sesulit apa posisi Airin sekarang.

"Gue ngerti," Sagita tersenyum menenangkan, "apapun keputusan lo, gue harap lo nggak bakal ngelukain hati siapapun."

Airin berhasil menangkap sinyal Sagita hingga dia bisa tersenyum lega, "Terus lo pulang sama siapa?"

"Tetep sama Kelvin kok," Sagita memejamkan mata sejenak untuk menikmati desiran angin malam, "gue tuh nggak paham, sebenarnya hati Kelvin terbuat dari apa sih?" protesnya setelah membuka mata.

"Kenapa emang?"

"Kelvin bilang dia bakal tetap nerima gue sebagai temennya setelah kejadian kemarin, gue kira dia bakal ilfeel."

"Dia emang sebaik itu, makanya gue nggak rela kalo harus kehilangan dia lagi."

Setelahnya percakapan mereka berlanjut lebih luas, membahas hal random selayaknya perempuan pada umumnya. Mulai dari kegiatan photoshoot hingga berlanjut ke bule Paris yang minta foto karena mengira Kelvin artis. Namun saat sedang asyik-asyiknya berbincang, Airin melihat panggilan telpon bertubi-tubi dari Nino. Karena firasatnya mengatakan ada hal penting, dia pun mengakhiri panggilan dan berjanji akan menelpon Sagita lagi besok.

"Halo, No. Ada apa?"

Detik berikutnya, Airin merasa dia kehilangan gravitasinya. Dia merasa sebagian jiwanya hilang entah kemana, bahkan untuk memegang ponsel pun terasa seperti memegang besi berkilo-kilo beratnya. Semua itu terjadi tepat setelah Nino memberitahukan sesuatu;

"Rin cepet ke rumah Danu, Ibu Danu meninggal dunia."

*****

Sejak Nino memarkir motornya di sebuah lapangan, Jenny terus mengerutkan hidung sepanjang jalan. Matanya mengedar memandangi rumah-rumah 'gubuk' yang saling berdempetan di sekitarnya, bahkan tangan lentiknya yang memeluk lengan Nino tidak dia lepaskan sedetik pun.

"Kita nggak nyasar kan, Bang?"

Nino mengurungkan niat untuk mengacak-acak rambut Jenny karena tangan kirinya memegang kantong plastik makanan, "Emang kamu berharap Danu tinggal dimana?"

"Di rumah susun kek, kan masih masuk diakal Jenny."

"Nggak boleh gitu, ah," Nino menarik sedikit tangannya hingga Jenny menatap matanya, "kita harus menghormati keputusan orang lain."

Jenny melengkungkan senyum ke bawah, "Iya, iya."

Selanjutnya perjalanan mereka damai, sesekali Nino menarik Jenny mendekat agar tidak tertabrak anak-anak kecil yang sedang berlarian di jalan sempit ini.

Hari ini, di sela waktu liburnya, Nino mengajak Jenny berkunjung ke rumah Danu. Karena setelah Nino naik jabatan jadi ketua divisi marketing— menggantikan ketua sebelumnya yang dipindah tugas ke perusahaan baru— dia jadi jarang menemui atau membantu Danu berjualan seperti biasa. Berhubung Jenny juga sedang libur, maka dia pun sekalian mengajak adiknya yang langsung diiyakan gadis itu.

"Ini dia rumahnya." Nino menghentikan langkah agar Jenny bisa melihat jelas rumah Danu. Tak lama, gadis itu menoleh.

"Mereka beneran bisa hidup di sini, Bang?" Nino mengangguk membenarkan, "Jenny jadi kangen Mommy sama Daddy."

Nino tersenyum tenang, "Inilah alasan kenapa Abang sadar kalo hidup itu cuma sekali, kita harus jadi manusia yang berguna buat sekitar. Apalagi fasilitas yang dikasih Daddy sama Mommy jauh lebih mewah dari yang didapat Danu."

Jenny tidak bisa berkata-kata, semua kosa katanya mendadak hilang hingga dia tidak punya kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya sekarang. Hanya mata berkaca-kaca yang bisa Jenny luapkan.

Baru saja Nino ingin menenangkan sang adik, tiba-tiba terdengar suara decitan pintu kayu yang dibuka secara terpaksa.

"Kak Nino ...!!!!" Danu berlari kencang menabrak tubuh Nino hingga genggaman tangan Jenny terlepas, anak itu memeluk Nino dengan punggung naik turun dan suara isak tangis yang mulai terdengar.

"Kamu kenapa?" Nino melepaskan pelukan lalu berjongkok untuk melihat wajah Danu yang sudah dibanjiri air mata.

"Ibu, Kak ... Ibu ...."

"Kenapa sama Ibu?"

"Ibu me—meninggal Kak."

Sontak Nino dan Jenny membeku, mereka saling lempar pandang saking terkejutnya. Apa benar yang dikatakan Danu? Tapi dilihat dari reaksi Danu, anak itu tidak berbohong.

"Jenny jaga Danu ya, Abang mau cek ke dalam." dengan sigap Jenny mengambil alih Danu dan langsung menenangkan dengan memeluknya.

Sedangkan Nino langsung menuju kamar Ibu Danu, terlihat beliau menutup mata. Dia pun segera memeriksa denyut nadi Ibu Danu di pergelangan tangannya. Dan benar saja! Tidak ada detak sedikitpun. Namun Nino rasa ada hal yang lebih mengganjal di sini, wajah Ibu Danu terlihat begitu cerah, bahkan dia melihat kedua sudut bibir almarhumah tertarik hingga menimbulkan senyum simpul di sana.

Baru kali ini Nino melihat jasad orang meninggal secantik dan secerah itu. Sekarang bukan lagi kesedihan yang dirasakan Nino, tetapi sebuah ketenangan setelah mengetahui Ibu Danu meninggal dengan khusnul khotimah.

Dan kini yang terlintas dibenak Nino adalah menghubungi Airin, orang yang berhak mengetahui kepergian Ibu Danu.

*****

Maaf ya part kali ini pendek.

Sebenarnya aku udh nulis satu part penuh, cuma karena terlalu panjang jadi aku cut di sini. Biar sampe juga amanatnya ke kalian.

Kalo menurut kalian, gimana chapter ini?

Sampai berjumpa dibagian selanjutnya✌

I blue ya💙
Dari Mawar biru yg seketika sedih inget dosa setelah lihat Ibu Danu meninggal khusnul khotimah😭😭😭

My Precious Girlfriend ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang