15. Jangan Diet

706 144 91
                                    

Meski sudah pukul dua belas malam, Jisoo belum juga bisa menutup kedua matanya. Jangankan menutup mata. Berhirup udara dengan tenang saja ia tidak bisa. Merasa tidak sanggup. Pikiran terus melayang ke mana-mana. Otak terus berputar cepat. Mengkhawatirkan banyak hal dalam satu waktu. Haruskah ia mengunci pintu kamar dari dalam? Atau, kabur saja ke apartemen Jeonghan atau Minghao?

Ini kedua kalinya apartemen Jisoo kedatangan tamu laki-laki. Langsung dua orang pula. Ditambah lagi menginap. Jisoo takut. Bukan takut keduanya akan melakukan kejahatan. Namun lebih kepada takut akan hal-hal yang bisa dianggap sepele, seperti penampilan. Bagaimana jika Seokmin dan Jun melihat penampilan Jisoo yang urak-urakan ketika bangun tidur?

Jisoo menepuk dadanya. Berusaha memperbaiki kinerja jantungnya yang sedari tadi tak bisa berfungsi dengan normal. Berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya sejak pertama kali Jun mendatanginya dan mengabarkan bahwa Seokmin sudah tak berdaya berkat ulah Wonwoo dan teman-temannya serta para kekasih mereka. Makan malam pun tidak dapat ia nikmati seperti biasa. Tak sampai separuhnya yang berhasil Jisoo telan. Setelahnya, gadis Hong itu kabur dan masuk ke dalam kamarnya. Sempat mendapat teguran, Jisoo berasalan bahwa dirinya sedang menjalani diet.

Ia memang berhasil menutup mata dan secara perlahan mulai terlelap. Namun, tetap saja tidak bisa senyenyak biasanya. Jisoo kembali membuka mata begitu pukul empat dini hari. Udara terasa dingin, akan tetapi tubuhnya malah merasa kepanasan. Menyingkap selimut, secara hati-hati Jisoo mendatangi dapur. Entah kenapa tenggorokannya terasa tandus.

Usai meneguk satu gelas penuh air putih, Jisoo terdiam sejenak di sana. Samar terlihat Seokmin dan Jun tengah tertidur amat lelap. Meski keadaan ruangan tersebut gelap, lampu memang sengaja dimatikan dan hanya menyala di bagian dapur, Jisoo dapat melihat mereka. Membuat si gadis mencengkram erat gelas yang ada di tangan. Keinginan untuk mendatangi semakin kuat.

"Hei," sapa Jisoo. Berbisik. Nyaris tak terdengar. Hanya dirinya sendiri yang dapat mendengarnya. Lagi-lagi membuat Jisoo menepuk dada.

Pipi tirus, hidung mancung. Poin utama yang menjadi pusat perhatian setiap kali Jisoo menemukan keberadaan Seokmin. Dari kejauhan maupun dari jarak yang amat dekat. Lupakan harga atau merk pakaian yang laki-laki itu kenakan. Seokmin sudah bisa dikatakan menawan meski hanya dengan kaus polos tanpa merk.

Diraihnya tangan Seokmin yang menyembul keluar dari selimut. Sedikit meraba bagian telapak tangan. Kasar namun hangat. Begitu menggambarkan bagaimana sosok itu berperilaku. Setidaknya, itulah yang Jisoo rasakan selama berusaha mengenal Seokmin dengan lebih mendalam.

"Kamu tahu? Harusnya pertemuan kita bisa dilakukan dengan jauh lebih baik dari yang terjadi sebelumnya. Maksudku..." Jisoo mengunci mulut tiba-tiba. Tak berani melanjutkan kalimatnya. Pasalnya, tanpa aba-aba Seokmin malah membalas genggaman tangan Jisoo. Tangan kecil gadis itu terkunci rapat di dalam sana. Jika Jisoo menarik tangannya, pasti akan secara otomatis malah membangunkan Seokmin dari tidurnya. Jisoo menggigit bibir kuat-kuat. Khawatir. Takut. Rasanya ia hendak menangis sekarang juga.

Akhirnya Jisoo dapat bernapas lega setelah menyadari bahwa Seokmin belum terbangun. Hanya bergerak tak nyaman dan mengubah sedikit posisi tidurnya. Melepaskan tangan Jisoo, lalu menggaruk kepala. Jisoo belum berani mengubah posisinya yang sedari tadi telah berjongkok tepat di hadapan Seokmin. Ia terlalu mengkhawatirkan banyak hal.

Dan, dugaan Jisoo benar. Seokmin membuka mata tidak lama setelah melepaskan genggaman tangan Jisoo.

"Kepalamu masih sakit?" tanya Jisoo amat pelan. Nyaris berbisik. Khawatir membangunkan Jun. Cukup Seokmin yang mengetahui kedatangannya. Jun tak perlu tahu. "Ingin minum obat?"

Bukannya menjawab, Seokmin malah melempar senyum pada Jisoo. Semakin lama senyum tersebut semakin jelas terlihat. Membius Jisoo sejenak. Tiba-tiba saja kinerja jantungnya melambat. Bukan dengan menepuk dada Jisoo memperbaikinya. Namun dengan cara menjerit dalam hati. Menghela napas, mengembuskannya secara perlahan. Tertawa canggung. Tatapan Seokmin membuatnya kaku. "Kenapa?"

Fùzá (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang