16. Bertemu

9K 497 2
                                    

Moment paling ku tunggu tunggu akhirnya datang juga. Tepat pada hari ini aku akan di wisuda dan dinyatakan lulus baik secara de facto maupun de jure. Antara bahagia dan sedih. Bahagia karena bisa melihat keluargaku tersenyum bangga melihat rektor memindahkan posisi tali topi toga, wisuda memang semudah itu, yang susah perjuangan sebelumnya, mikirin judul skripsi, revisi, coretan sana sini.

Sedih, kerena mas Yudha tidak bisa hadir dalam moment bersejarah hidupku. Iyes , doi masih di negara seberang udah macam bang Toyib yang tak pulang pulang. Entah kapan dia mau pulang, yang jelas kalaupun dia pulang sekarang, itu tidak langsung ke Malang tapi ke Tangerang. Aku kok bisa tahu? Ya tahu lah. Aku belum cerita ya...sini sini rapatkan barisan maka akan aku ceritakan.

Pada zaman dahulu uuuuuuuuu....stop stop, narasi apa ini? Oke, kembali ke topik. Jadi setelah acident Jancuk waktu itu, mas Yudha beneran ngambek dan tidak mengangkat telfon maupun membalas ribuan bahkan ratusan ribu pesan yang aku kirim. Eh gak deng, itu terlalu hiperbolis. Ya pokoknya mas Yudha mencampakan pesan dan telfon dariku.

Dengan pintarnya dia memanfaatkan batas waktu orang marahan di dalam agama islam. Jadi selama 3 hari mas Yudha benar-benar memutus komunikasi kami, tapi masih sering aku dengar dia menanyakan kabarku lewat Bunda hingga membuat Bunda cantikku memarahiku murka.

“ Ra, kamu itu udah di khitbah orang. Jangan sering-sering jalan sama laki laki lain Nduk. Saat ini ada hati yang harus kamu jaga. Yudha itu kurang apa sebenarnya? Awas kalau Yudha sampai mundur jadi calon mantu Bunda.” Ucap Bunda beberapa hari yang lalu dengan gerakan menebas leher. Membuatku bertanya tanya sebenarnya anak Bunda itu aku apa mas Yudha?

Mas Yudha baru menghubungiku lagi setelah 3 hari badanku demam tinggi akibat kehujanan waktu pulang dari kampus, dia benar-benar merasa bersalah karena menyuruhku pulang waktu itu. Padahal disini aku juga salah, sudah tahu hujan malah nekad bawa motor tak mengindahkan ucapan Bunda menyuruhku membawa mobil.

“Rara harus sakit dulu ya mas. Baru mas mau menghubungi Rara lagi. Bagus.....lanjutin aja marahnya, terus salahin Rara, gak usah peduliin perasaan Rara!” Semburku dengan air mata membasahi wajah pucatku.

Maafin mas dek. ” ucap mas Yudha dengan wajah merasa bersalah terpampang di layar ponselku saat kami VC.

Bukannya mas ga peduli sama kamu sayang. Mas benar-benar kalut saat itu. Badan mas capek, lelah, ditambah rindu dan cemburu. Perasaan mas benar-benar campur aduk. Maafkan mas sayang. Mas nyesel menyuruhmu pulang waktu itu. Mas salah.” Lanjutnya dengan wajah super duper khawatir.

"Gak, Rara gak mau maafin mas. Mas keterlaluan." Ucapku mematikan sambungan telfon kami. Tak lama nama mas Yudha kembali berkedip kedip menghiasi layar ponselku. Aku mengabaikannya, biar dia tahu rasa.

Satu kali

Dua kali

Tiga kali

Empat kali

Aku tetap membiarkannya. Mas Yudha memang perlu diberi sedikit pelajaran, agar mengerti sakitnya di campakan.

My Letnan 💚

Angkat bee, jangan bikin mas khawatir 

Sayang 😢

Maafin mas sayang.

Mas harus gimana dek? Jangan begini, please

DEJANIRA (Terbit Ebook di Play Store) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang