06. TAMAT

2.2K 83 14
                                    

"Cinta itu apa, Mbah?", tanya Angsana pada Embah saat usianya 15 tahun. Selepas menyaksikan drama tentang tetangga yang akan menikahkan anaknya. Keributan pagi itu membangunkan Angsana dari kemalasan di hari libur. 

Embah telah lebih dulu menjadi saksi pertengkaran antara dua sejoli yang berdebat akan batal atau tidaknya pernikahan. Ketika pihak keluarga wanita tidak terima dimana pihak laki-laki terkesan setengah-setengah hendak mempersunting putrinya.

"Cinta itu, ketika nanti calon suamimu benar-benar serius mengajakmu menikah. Tanpa ragu.", jawab Embah sembari meniupi api di tungku.

"Memang Mbak Tika nggak serius diajak nikah, Mbah?", kata Angsana sembari terus mengamati pertengkaran yang sedang terjadi.

"Serius. Lha wong sudah lamaran. Mungkin saja pihak laki-lakinya belum siap."

"Oooo....nikah itu ribet ya mbah?"

"Iya no. Nikah itu kan bukan hanya menyatukan dua hati, tetapi juga dua keluarga. Urusanmu sudah menjadi urusan semua keluarga. Cobaan orang yang akan menikah ya seperti itu, nduk. Harus ribut dulu. Pakai nangis dulu. Tinggal gimana nanti mereka bisa melewatinya atau tidak."

"Kalau ndak bisa?"

"Ya ndak jadi nikah."

"Kenapa Embah menikah?"

Embah terhenti dari aktivitas meniup apinya. Memandang Angsana yang masih terus mencermati pertengkaran yang belum berakhir. 

"Karena Mbah cinta sama suami mbah." 

"Cuma karena cinta, Mbah?"

"Yo ndak to, nduk ayu. Menikah itu bukan cuma lantaran cinta. Tapi juga tanggung jawab. Tanggung jawab suami Mbah untuk membahagiakan. Tapi itu pun tidak selalu dipenuhinya. Kadang, mbah juga nangis. Apalagi, mantan istrinya masih hidup. Anak-anaknya membenci, Mbah. Mbah sendiri nggak bisa punya anak."

"Lalu, kenapa mbah nggak cerai?"

"Karena Mbah cinta. Dan Mbah punya tanggungjawab untuk merawat suami yang selalu berusaha untuk membahagiakan mbah, nduk."

Angsana menoleh ke arah Embah. Dipandanginya lekat. "Segitu beratkah menikah?"

Embah tersenyum. Lalu meminta Angsana untuk duduk di dekatnya. Disibaknya rambut Angsana yang berantakan. 

"Menikahlah saat kamu sudah siap untuk menikah. Jangan hanya karena kamu kesepian. Menikahlah dengan orang yang mencintaimu, dan keluarga yang juga menyayangimu. Menikahlah dengan orang yang sudah siap untuk menikah. Karena kebahagiaan kita akan tergantung padanya. Begitu juga dengan mencintai. Cintai orang yang juga mencintaimu. Bukan orang yang mengaku mencintaimu tapi hanya mengambil keuntungan darimu saja, nduk."

Angsana belum mengerti maksud kata-kata Embah saat itu, namun saat ini, Angsana mulai mempelajarinya. Jansen yang dulu mengaku mencintainya, namun ternyata menjadikan dia sebagai selingkuhan. Tidak ada tanggung jawab yang diberikan untuknya. Meninggalkannya kesakitan sendiri menghadapi dunia.

"Aku sudah memaafkan Jansen, Raka."

Kata Angsana dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Raka menoleh sesaat ke arah Angsana. 

"Dia memang bajingan untukku. Tapi tidak adil jika dia tidak dimaafkan. Begitu juga tidak adil bagiku jika aku juga tidak memaafkan diriku sendiri."

Raka tersenyum senang mendengar penuturan Angsana. Dirinya berharap drama yang terjadi beberapa hari ini akan segera berakhir. 

"Gua sampaikan pada Jansen nanti."

"Tapi aku nggak mau ketemu."

"Iya, nggak usah ketemu. Itu lebih baik. Kalian sudah melewati jalan hidup sendiri-sendiri."

Angsana (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang