Insults

2.2K 156 7
                                    

Sayup-sayup kedengaran hentakkan kaki ke arahku.

"Apa yang terjadi di sini ?!"

Suara berat yang terkesan tegas. Suara Pak Iftar.

"Tadi ada yang main lari-lari, Pak"

Suara yang terdengar dalam. Suara Fathir ?

Aku bangkit dari dudukku. Mataku masih mengerjap-ngerjap untuk mencari fokus.

"Kamu tidak apa-apa ?" Tanya Pak Iftar. "Bawa dia ke UKS, anak baru" potong Pak Iftar sebelum sempat aku menjawab.

"Pak, saya nggak usah ke UKS. Saya masih belum amnesia" balasku sambil cengengesan. Fathir yang berada di sebelah Pak Iftar hanya terdiam dengan raut datar tak mahu peduli.

"Ya sudah" Pak Iftar kemudian berbalik, meninggalkan aku dan Fathir yang sedang mematung.

"Yang main kejar-kejaran tadi siapa ?!" Kami dikagetkan dengan suara Pak Iftar yang bisa membuat jantungku copot. Aku dan Fathir saling berpandangan. Aku menjadi salah tingkah. Sebenarnya aku ingin tertawa.

Aku berdehem beberapa kali sebelum berjalan melewati Fathir dengan langkah yang cepat.

Aku berjalan ke luar untuk memakai sepatu. Kelihatan Pak Iftar sedang memarahi dua jail bersaudara, Kak Thariq dan Kak Naqib. Kalau tidak salah, mereka berdua yang bermain kejar-kejaran tadi.

Selesai memakai sepatu, aku segera berjalan menuju kelas. Oh Tidak. Setelah ini matematika.

"Adelia," suara itu lagi. Tepat ketika aku berputar 180 derajat, sebuah buku melayang ke arahku. Dengan sigap ku tangkap buku yang lumayan berat itu. Isaac Newton.

Ku teliti buku itu sementara cowok itu berjalan melewatiku.

Aku membuka buku itu. Sebuah nama tertulis di kartu pinjaman untuk kali kedua. Fathir Khuarizmi.

...

"Nate, Fathir itu nyebelin tau gak" curhatku kepada Nate walaupun kami sedang mempelajari matematika.

"Gue tau. Terus mau gimana ? Sikapnya kan memang begitu" balas Nate. Tampaknya dia juga tak menyukai Fathir. "Dasar anak baru" dia memuncungkan bibirnya.

"Nate, Adelia, apa yang kalian omongin ?" Soal Bu Kar yang mungkin telah memerhatikan kami.

"Err... Nggak, bu. Kami ngomongin tentang jawabannya" ujar Nate, coba memberi alasan. Aku mengangguk-anggukan kepala. Menyetujui Nate.

Bu Kar melepas kacamatanya. "Dari kelmarin ibu lihat kalian berbicara waktu belajar" bola matanya memandang tepat ke arah kami yang sedang tersenyum gugup.

"Jadi,"

Ini kedengarannya tidak bagus.

"Ibu mau," Bu Kar menarik nafas. "Adelia pindah disebelah Fathir"

Tiiiidaaaaaak !!!

Aku membatin. Mahu saja aku menjerit di jam ini, di menit ini, di saat ini. Tetapi yang keluar hanya sebuah gumaman yang tak jelas.

"Tapi bu-"

"Tidak ada tapi, Adelia." kata-kata Bu Kar yang menghentikan segala alasan yang berkumpul di pikiranku.

Dengan paksa aku menarik tasku serta seluruh alatan tulisku ke sebelah Fathir. Laki-laki itu hanya menatap sekilas dan kemudian menumpukan perhatiannya kepada materi.

Hening kembali menguasai kelas. Diselingi dengan suara bu Kar.

...

"Siapa yang sudah selesai bisa pulang" kata Bu Kar sambil melabuhkan punggungnya di kursi setelah menulis tujuh soal di papan tulis. Beberapa anak yang tadinya mendesah lega sekarang menggerutu karena dikasih soal.

Aku merenung soal yang tertulis di papan tulis. Kelihatannya mudah. Aku menoleh ke sebelah kananku. Buset. Si Fathir udah di nomor empat.

"Fathir" panggilku. Tetapi cowok itu masih fokus dengan kerjaannya.

"Fathir" aku memanggilnya untuk kedua kali. Tetap diabaikan.

"Fathir Khuarizmi !" Panggilku sebal. Sombong banget ni anak.

Akhirnya dia memutar kepalanya. "Apa ?"

"Bisa ajarin nomor tiga ?" Tanyaku yang lebih kepada meminta dengan senyum paksa.

"Nomor tiga sama caranya dengan nomor dua" balasnya dengan raut wajah tak ingin membantu ataupun mengambil tahu. Dia kemudian berjalan ke meja guru untuk diperiksa jawabannya.

Kulihat Bu Kar tersenyum dan berbicara sesuatu kepada Fathir.

Bu Kar kemudian berdiri dengan senyum lebar."Ini Fathir udah selesai"

Seisi kelas terdiam dan ternganga. Termasuk si langganan juara kelas, Yasmin. Dia tersenyum kagum kepada Fathir. Sementara si Fathir, menunjukkan wajah datar. Seolah-olah ini bukan sesuatu yang membanggakan.

"Jadi, ibu mau kalian berusaha keras seperti Fathir," Bu Kar mengatakan hal itu sambil menatapku yang sedang bengong. Jelas, itu nusuk. Banget. "Fathir bisa pulang"

Aku tertunduk. Cowok itu merapikan mejanya dengan cepat dan berlalu pergi tanpa menatapku yang merasa terhina.

Author's note

Yeyeye !! Udah nyampe part 4~ (baru part 4 .-.) Makasih buat yg baca dan vomment cerita yang gaje ini *pelukan virtual* maaf kalo part ini kependekan. Soalnya sempet-banyak-stuck di sini.

Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora