Permintaan

2.2K 133 4
                                    

Cewek gila.

Itu yang pertama kali muncul dari kepalaku saat Adelia menendang-nendang tiang listrik di depan sekolah. Kulihat seorang kakak kelas menjitak kepalanya. Syukurlah, dia sudah normal kembali.

"Kakak kenapa ketawa ?"

Aku menoleh ke belakang. Athira sudah bangun. Dia menatapku aneh. "Emang kakak ketawa ?"

Pertanyaanku dibalas dengan anggukan pelan Athira yang masih mengusap-usap matanya. Mama sedang membayar SPP bersama adik lelakiku.

Seorang wanita paruh baya yang menggendong anak kecil mengetuk kaca. Aku membukakan pintu untuknya.

"Athira udah bangun ?" tanya mama sembari menyerah Zhafir ke pangkuanku. Dengan sigap aku menerimanya dengan kedua tangan. Athira di belakang hanya menyengir kuda.

Mama menghidupkan mesin mobil dan menekan pedal minyak. Mama membelokkan mobil ke kanan. Segalanya berjalan lancar, sebelum ada seorang cewek menyeberang dengan tiba-tiba di depan kami. Mama memijak pedal brek dengan keras. Menyebabkan aku dan Zhafir—mungkin juga Athira—hampir terjungkal ke depan.

"Untung saja kalian memakai sabuk pengaman," ujar mama sambil menghembus nafas lega. Untung aku memeluk Zhafir tadi. Aku menatap cewek yang berlari anak ke seberang sana. Itu bukannya cewek gila tadi ya ?

...

"Li, Tet, gue ke perpus dulu ya ?" kata Adelia dengan bersemangat.

"Ulangan udah habis kali. Masa ke perpus lagi ?" Nate mengerutkan alisnya. Bener juga kata si Natet, Adelia membatin sambil memikirkan kekonyolannya pagi hari ini.

"Gue overdosis," jawab Adelia sewajarnya dan berlalu pergi.

Adelia menolak pintu kayu perpus. Seperti biasa dia disambut oleh haruman buku-buku lama yang masih tersusun rapih di raknya. Bukan karena sering dirapihkan, melainkan karena tidak ada yang mahu membacanya.

Adelia beranjak dari satu rak ke rak yang lain. Mencari kaver buku yang cukup menarik untuk dibaca—walaupun ada pepatah yang mengatakan "Don't judge book by its cover".

Dia memilih dua buah buku. Satunya buku tentang astronomi, dan yang satunya lagi adalah sebuah novel. Sebenarnya dia tidak tertarik untuk membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Tetapi karena Fathir pernah membacanya, dia tertanya-tanya juga apakah isi buku tersebut sehingga menyebabkan si Kepala Besar itu membacanya.

Adelia bebelok ke kiri, untuk mencari tempat favoritnya—di ujung perpus, di sebelah jendela. Sialnya, dia melupakan sesuatu.

Saat Adelia tiba di ruangan yang paling pojok, di situlah dia bertemu makhluk itu. Sedang membaca dengan khusu’. Dengan nafas tertahan, mahu saja dia berbalik dan meninggalkan tempat itu tanpa jejak. Tetapi Fathir telah menatapnya, dan itu berakibat konyol seandainya dia melakukan hal tadi.

"Hai ?" sapa Adelia canggung dengan senyum gugup. Cowok itu tidak menggubris sapaan Adelia. Dia malah menatap Adelia.

Adelia menarik kursi di depan Fathir. Suasana masih kaku. Sepanjang pembacaan, Adelia langsung tidak konsentrasi. Cowok sok cool di hadapannya ini masih berkutat dengan buku di tangannya.

"Fathir," Adelia memulai pembicaraan. Cowok itu mengalihkan pandangan dari bukunya dan menatap Adelia.

"Gue tahu, gue bego. Sok-sok nantang lo," ucap gadis itu tak pasti. "Walau gue tahu bakal kalah,”

"Terus," tanya Fathir yang lebih kepada meminta Adelia menghabiskan kata-katanya.

Tiba-tiba Adelia menjatuhkan badannya ke lantai, berlutut menyebabkan cowok itu sedikit terlonjak kaget.

Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz