Pulpen

1.4K 101 10
                                    

"Yang ini dikali min tiga. Jangan lupa dibalik." jelas Fathir sambil membulatkan pecahan di buku tulis itu. Dia mengalihkan pandangannya kepada Adelia. "Ngerti ?"

Tiada balasan dari Adelia. Fathir mengetuk pulpen ke kepala Adelia.

"Ow !" ringisnya dengan tangan mengusap-ngusap bagian kepalanya yang menjadi sasaran pulpen Fathir. Dia memelototi cowok itu tajam, ingin meluapkan kekesalan sumpah serapah kepada Fathir atas perbuatannya yang-menurutnya-tidak berperikemanusiaan. Tapi dia berakhir menyimpannya di dalam hati ketika Fathir memperlihatkan wajah datarnya.

"Ngerti nggak ?"

"Iya iya, gue ngerti." balas Adelia sembarangan karena dia tidak mendengarkan sama sekali cerocosan Fathir mengenai bahasa alien itu alias matematika. Tambah lagi sejak beberapa menit yang lalu mulutnya menyuarakan kantuk yang tidak ada habis. Segala pelajaran yang tadi masuk ke telinga kanan kemudian keluar melalui telinga kiri. Adelia mungkin harus memperbaiki telinganya yang bocor.

"Gimana kalo lo seka-" Omongan cowok yang berwajah datar itu diputuskan oleh suara Adelia yang memekakkan telinga.

"OOOOH coba liat jam ! Udah jam 6. Gue harus pulang. Kakak gue minta tolong jemur kain." Dengan sekali gerakan Adelia meraup barangnya yang ada di atas meja. Tentunya tanpa merapihkan dulu. "Jadi... gue pulang dulu. Daaah !" ucap Adelia melambaikan tangan sembari menyeimbangkan tubuhnya.

Fathir mendengus. Dia melirik ponselnya yang jelas menunjukkan tepat pukul 4 sore. Lagipula tidak ada orang yang menjemur jam 6 sore. Cewek ceroboh, Fathir membatin. Dikantongi ponselnya di saku.

Tiba-tiba wajahnya berubah panik. Diraba kantongnya yang biasa menyimpan benda-benda penting. Seperti orang kesurupan cowok itu melihat ke bawah bangku. Tidak ada. Dia mengeluarkan seluruh isi sakunya. Nihil. Ditelusuri bagian kursi dan bangku yang didudukinya tadi. Tidak ditemukan benda itu.

Pulpennya.

Walau benda itu hanya sebatang pulpen, ianya sangat berarti bagi Fathir. Pulpen yang akan dimainkannya saat hendak memecahkan sebuah soal. Atau saat dirinya merasa bosan. Sekarang jari-jarinya terasa kosong. Tidak ada tuannya yang biasa berputar di antara ruang kecil tangannya.

Fathir menepuk jidatnya. Cukup kuat untuk menyadarkannya dari melakukan hal bodoh. Sekarang gantian dia mengumpat dirinya. Cowok ceroboh !

Pulpen itu pasti dibawa Adelia. Entah sengaja maupun tidak. Dilangkahkan kakinya terburu-buru ke arah mana pun, berusaha menebak di mana posisi pulpennya. Lagi-lagi dia menepuk jidatnya. Kepalanya yang biasa menunjukkan kecerdasannya mendadak hilang. Fathir mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan pesan singkat melalui messenger.

Suara khas messenger melenyapkan kekhawatirannya sebentar.

Fathir: Tumsh ;o fi ,ana ?

Adelia: Apaan ?

Fathir menyadari tangannya yang menggeletar menyebabkan dia tidak bisa mengetik dengan benar. Dia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Sedaya upaya dia mengontrol jari-jarinya mengetik.

Fathir: Di mana. Rumah. Lo.

Adelia: Ngapain nanya rumah gue ? Mau nyolong ? :p

Hampir saja Fathir melempar ponsel itu jika dia hilang kontrol. Disentuhnya caps lock dua kali.

Fathir: GUE NANYA DI MANA RUMAH LO

Adelia: Nyante, bro. No. 17, Lr. Penyu.

Dia tidak membaca lagi pesan dari Adelia. Yang dipikirkannya sekarang adalah pulpennya. Kompleks perumahan yang tidak terlalu besar itu mempermudah pencarian Fathir. Sebuah papan nipis yang tertempel pada pagar putih bertuliskan 'No. 17' ditambah dengan catatan kecil 'Rumah Adelia' memakai spidol hitam membuatnya begitu pasti rumah itu yang dicarinya.

Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]Where stories live. Discover now