Contekan

1.6K 115 7
                                    

Adelia mengacak rambutnya frustasi sebelum berguling-guling di kasur. Bagaimana bisa kardigan itu dicuci Dian ? Padahal itu adalah salah satu benda ajaib dalam hidupnya. Di mana lagi ada cowok-tentunya bukan Dian atau Ayah-yang membantunya mencuci pakaian ?

Saat dia hendak menjejak lantai, Adelia terjerembab ke lantai akibat terbelit pada selimut. Belum cukup dengan itu, dia menubruk tas sekolahnya sehingga isinya keluar.

Adelia menyangga tubuhnya. Pandangannya kemudian jatuh pada buku tulis matematika. "Ada PR matematika lagi." umpat Adelia sambil memutar bola matanya. Untung saja besok tidak ada pelajaran matematika. Setidaknya dia masih memiliki waktu untuk menyontek Fathir. Terbersit dari kepalanya sebuah ide cemerlang.

Segera diambilnya ponsel di nakas. Jari-jarinya bergerak pantas mengetikkan pesan. Entah setan apa merasukinya untuk melakukan demikian.

Adelia terkikik geli saat membaca pesannya sendiri. Sebentar lagi pasti dia akan diserang dengan beberapa pesan messenger.

Cewek itu mengganti bajunya lalu mengisi tas selempangnya dengan buku matematika serta alat tulisnya. Beberapa detik kemudian terdengar dering khas messenger yang masuk. Adelia memutuskan untuk tidak membaca maupun membalasnya.

Adelia memakai flats hitam kesayangannya dan berjalan dengan santai ke taman. Dari kejauhan kelihatan Fathir seperti orang yang depresi berat. Berjalan ke hulu ke hilir sambil sesekali menggaru tengkuknya.

"Stres ya kalo jadi anak pinter ?" kata Adelia membuat cowok itu cepat-cepat berbalik menatapnya.

"Demi apa ini ?" ucap Fathir dengan wajah cemberut. Dia menunjukkan messenger yang dikirim Adelia sebentar tadi. Terlihatlah sederet balasan Fathir yang kedengaran seperti orang yang baru menerima berita kematian.

Adelia: Ketemu di taman sekarang !

Adelia: Ini PENTING ! Persoalan hidup dan mati !

Fathir: Kenapa ?

Fathir: Persoalan hidup dan mati siapa ?!

Fathir: Woi !

"Ini," kata Adelia sembari menunjukkan PR matematika dengan cengengesan. Jika Fathir tidak waras, pasti dia sudah memutilasi Adelia hidup-hidup. Cowok itu mengambil buku tulis di tangan Adelia.

"Ini kan PR kemarin yang gue udah jelasin ?" kata Fathir setengah membentak. Rasanya sebentar lagi dia akan meledak hingga kepingan-kepingan halus. Bagaimana cewek ini tidak bisa memahami perkara sesimpel aljabar ?

"Gue nggak ngerti," sahut Adelia. "Kenapa x mencari y sedangkan y ngga mau sama x lagi ?" lanjutnya dengan wajah polos. Sebuah jitakan dihadiahkan Fathir kepadanya. Cewek itu meringis kecil lalu mengusap-usap dahinya yang memerah akibat jitakan tadi.

"Dan berapa kali gue bilang yang ALJABAR NGGAK ADA KAITAN DENGAN TEORI LO !" ucap Fathir. "Karena lo memegang teori itu, makanya lo ngga ngerti."

"Jadi gue harus ikut teori Fathir Khuarizmi gitu ?" tanya Adelia. Dia pernah mendengar bahwa bapak dari aljabar adalah al-Khwarizmi. Kata-kata itu dibalas hanya dengan sebuah pandangan maut dari Fathir. Bisa-bisa cewek itu amnesia kalau dijitak lagi.

Fathir tiba-tiba bangkit dari bangku. Dia memberikan buku itu kepada Adelia sebelum berlalu pergi tanpa kata.

"Lho ?" ujar Adelia kebingungan. "Fathiir ! Tolongin gue dong !" teriak cewek itu tanpa memperhatikan keadaan sekeliling. Untung saja tidak banyak yang ada di taman sore hari itu. Percuma, cowok itu meneruskan langkahnya.

"Daaah." Fathir membalasnya dengan sebuah lambaian. Itu juga tanpa berbalik ke belakang.

Adelia terduduk diam di bangku kayu itu. Daripada dia menyelesaikan tugasnya, lebih baik dia memikirkan apa alasannya untuk Bu Kar besok.

...

"Natet,"panggil Adelia. Nate berbalik dengan mengangkat sebelah alisnya. "Doain Bu Kar Ngga masuk ya ?" lanjut Adelia dengan tatapan miris. Dia sudah memasuki fase berserah-diri-saja setelah fase meminta-tolong-Dian tidak berhasil.

"Lo kenapa, Del ?" tanyanya kembali dengan wajah yang tak bisa diterjemahkan.

"Udah, aminin aja," kata Adelia sambil mengibaskan tangannya. Nate lantas mengaminkan sahaja doa Adelia walaupun pagi tadi dia melihat mobil merah Bu Kar terparkir di halaman sekolah. Di sudut hatinya dia berharap mobil Bu Kar yang dilihatnya adalah ilusi semata.

"Selamat pagi, anak-anak," ucap Bu Kar lengkap dengan seragam batik hari Kamis plus wajah ceria di pagi hari. Ekspresi itu akan hancur dalam hitungan 3... 2... 1...

"Sudah selesai PR kemarin ?"

Beberapa murid mulai merungut. Senyum Bu Kar sedikit memudar. Dia lalu mendesah. "Yang belum selesai ayo ke depan,"

Fathir melirik Adelia yang masih terdiam dengan buku matematika di tangannya. Mereka tidak berbicara walau sepatah kata dari tadi. Perasaan serba-salah mengerubunginya walaupun tertutup sedikit dengan andaian cewek itu telah menyelesaikan PR-nya.

Beberapa kursi berderit. Tetapi yang memulai langkah pertama adalah Adelia. Jantung cowok itu hampir saja meledak saat mendengar kursi Adelia ditolak. Sebentar lagi pasti dia akan dihantui perasaan bersalah. Yang teramat.

Sekitar 7 orang yang berbaris di depan. Termasuk Adelia. Seisi kelas menjadi hening. Bu Kar memang bukan guru killer. Siapa saja pasti terdiam saat guru menjatuhkan hukuman pada mereka yang bersalah, bukan ?

"Sebagai hukuman, kalian akan menyelesaikan soal di luar kelas," kata Bu Kar datar dan terasa tajam pada detik yang sama. Mereka bergerak secara bersamaan. Adelia mengambil bukunya tanpa menatap Fathir.

Mereka bertujuh berjalan keluar. Menyelesaikan PR di atas lantai koridor.

"Ayo kita bahas soal kemarin" kata Bu Kar kembali ke pelajaran. Dia mulai menuliskan beberapa nomor di papan tulis. "Yang pertama, Absyar,"

Cowok berkacamata itu segera berjalan ke depan ketika namanya dipanggil. Dia mengecek kembali tulisan rapihnya sebelum kembali ke tempat duduk.

Bu Kar kembali menyuruh beberapa orang untuk menyelesaikan soal di papan tulis. Hingga sampai giliran terakhir. "Fathir, nomor 7,"

Yang dipanggil tidak bergerak. Sebaliknya bergeming di tempat tanpa ekspresi. Matanya yang terbuka kelihatan kosong. Lamunannya sirna seiring Faris mengetuk mejanya. "Oi, dipanggil Bu Kar tuh."

Fathir terburu-buru berjalan ke depan sehingga melupakan bukunya. Oh, itu bukan masalah yang besar kalau rumusnya sudah di luar kepala.

"Bagus, kalian sudah mengerti semua," ujar Bu Kar saat Fathir kembali ke tempat duduknya. Guru berbaju batik itu berjalan keluar, memanggil mereka yang sedang 'berlibur' di luar kelas. "Kalian bisa masuk sekarang."

Sontak para terhukum beranjak masuk ke kelas. Beberapa dari mereka sudah menyelesaikan PR Bu Kar kecuali beberapa orang. Yang tentunya termasuk Adelia.

"Pelajaran hari ini sampai di sini. Selamat pagi," ucap Bu Kar yang entah kenapa terdengar lebih dingin dari biasanya. Kelas yang semula hening menjadi berisik kembali. Kecuali dua insan yang masih membisu.

Author's note
Yosh !! Udah chapter 12~
Cerita ini kayaknya makin aneh -,-
Makasih banyak buat yang baca dan vomments !!
Vomments kalian sangat dihargai ♥♥♥
P.s: buat yg puasa, selamat berpuasa !

Miss Idiot & Mr. Newton [hiatus]Where stories live. Discover now