03. Cerita Bayu di Hari Ahad

801 122 64
                                    

[Untuk pembaca baru, disarankan tuk membaca cerita i. Kediri dulu, ya—!♡]

Manakala waktu siang bolong diterpa bias kecup daksa kecilnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Manakala waktu siang bolong diterpa bias kecup daksa kecilnya. Seorang anak lelaki dengan surai gondrong bertandang alih-alih bersua. Bumiputra dengan raut wajah datar khasnya merakit tapak jalan mengendap-endap. 

Putra ibunda menggemaskan satu-satunya tengah menatap antariksa. Digurat semi kuning tercoret laksana carut marut pena. Dan gumpalan payoda putih sebagai figuran indah di sana. Ia pun mengukir senyum jua menilik kertas melayang-layang dengan bentangan benang. 

“Dor!” 

Sempat menahan recaka sejenak, tubuh Bayu terkejut bak terpantul bahana dari temannya. Jemala kecil yang tertutupi helai-helai surai arangnya sedang bersungut-sungut.

“Nathaaan! Bayu kaget tau!” mengerang kesal. Bibir kecilnya maju beberapa sentimeter. Sorot netranya juga ikut memandang tajam.

Balita yang hampir menginjak angka lima itu tertawa. Danuandra menampilkan kerut tipis di katup jelaga sekar mekarnya. “Ngunu tok ae kaget,” balasnya santai. Ia ikut menatap sesuatu yang melayang-layang bersama Bayu di sana.

(Gitu aja kaget)

Sang Anak dengan asma yang diharapkan menjadi sosok penghafal Al-Qur’an itu tak menjawab lagi. Suasana kalbunya sudah berubah, sebab di area hamparan bunga-bunga, naungan pohon adem semriwing, ataupun sejuk silir dari anila, menarik lebih atensi Renjana. 

Taman dekat wisma beserta tetangga usilnya menjadi titik pusat mereka bersua. Niat Bayu tadi hendak berjalan-jalan di sekitar sana dengan Bu Tika, namun justru bertemu dengan tetangga yang hanya lima langkah dari rumahnya.

Ia pun bertanya dalam sorak sorai harsa anak-anak yang lain. Tendangan bola bundar berdiameter kurang lebih duapuluh satu senti menjadi iringan siang panas Surabaya. “Nathan, kamu kesini sama siapa?” Sembilan puluh derajat menjadi titik acuan putar jemala.

Menjawab untaian tanya, “Kambek Mamaku.

Lantasnya, menunjuk perangai wanita yang tengah menghampiri mereka dengan semangkuk pangan. Tak lupa disampingnya ada kawan tetangga Ibu Nathan, Bu Mustika. Keduanya hendak menyuapkan makan siang kepada anak lelaki menggemaskan.

Para tetua mengajak Bayu dan Nathan terduduk di bawah naungan jantung dunia. Pohon beringin dengan daun lebatnya bisa menaungi mereka dari panas terik matahari. Mereka berdua lajaknya membuka labia agar pangan hari ini menganak sungai di lambung kecil.

Di sela-sela kunyahan, walau sudah diperingati Ibu untuk tidak berbicara saat mengunyah sebab katup epiglotisnya terbuka, Bayu tak mengindahkan. Malahan riang gembira tatkala ada selembar layangan bentuk burung marah berwarna merah sedang ditiup angin kencang. 

“Bu, liat! Layang-layangnya jancuk, ya!”

Ketiganya menoleh pada Bayu yang masih beratensi penuh pada lembaran itu. Bu Tika dan ibunda Nathan bertatapan sejenak, seakan bertelepati, atau bahkan terkejut mendengar dawaian dari Bayu Renjana.

Lentera Malam | JakeWhere stories live. Discover now