14. Angkasa Raya

400 61 31
                                    

Yuu, spam vomment-nya :)
Walau ada yang baca offline,
jangan lupa vomment-nya ya!

Perihal kerusuhan di empat tiang satu atap milik saudari Elena Sekar Trihapsari waktu lalu—syukur, bahala ringan yang terjadi itu sudah tuntas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Perihal kerusuhan di empat tiang satu atap milik saudari Elena Sekar Trihapsari waktu lalu—syukur, bahala ringan yang terjadi itu sudah tuntas. Walau, yah... sebenarnya agak kesal juga mengingat di hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi kenangan yang konyol sekaligus pemendaman rasa murka. Tapi mau bagaimana lagi? Balita memang belum tau mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Sekar memaklumi hal itu.

Ketika pagi menyapa dengan kidung-kidung bahana merpati mengalun ayun temayun, dijadikan sebagai melodi indah menerpa pendengaran. Laksana memberi tanda bahwa hari ini akan berjalan dengan bahagia nan sempurna. Bahkan cahaya mentari membiaskan sinarnya, panjang jangka sorot pula menjadi ukuran perbedaan Ultraviolet A dan juga B. Batas kaki langit jua menampakkan perangai gugusan kapas lembut putih berdampingan jua. Bersatu padu, terarak oleh angin meniup-niup figur mereka di sana. Elok, menenangkan sanubari manusia.

Dipayungi oleh sekar mekar ladang kalbu milik seorang anak adam, ia tengah berdiri menjulang di hadapan sebidang datar berpantulan menampakkan raganya. Daksa Bayu berputar-putar kanan dan kiri, lalu tak luput dari indahnya senyuman sang wira di pagi hari. Ia memandangi kloningan figur tubuhnya di kaca dengan sumringah. Rasanya sungguh senang sekali tatkala daksanya kini dibalut oleh sepotong seragam merah-putih.
   
“Wah... seragamnya bagus banget,” gumamnya sembari berputar ke kiri. Kemudian dagunya termanggut-manggut saat selintas kalimat mengitari pikirannya. “Oh... jadi gini ya rasanya pakai seragam merah-putih... Bayu jadi keren!” lanjutnya dengan memekik.
   
“Bayu... ayo sarapan dulu. Sebentar lagi berangkat sekolah.” Itu ibunya. Memanggil si pemilik asma dari arah dapur dengan frekuensi suara yang tak terlalu keras sebab perbedaan ruangan.
   
Lekas menjawab, “Iya, bu!”
   
Mematut penampilannya sekali lagi dan mengambil tas punggung di atas meja belajar yang sudah rapi isi bukunya, lantas langkah berdentum-dentum sedikit berlari menapaki ubin dirajutnya menuju ruang makan. Ia meletakkan tas kain yang tak lagi bergambar—sebab kata ibu Bayu sudah besar, jadi tidak ada lagi lukisan rupa gambar di sana—di atas kursi. Mencuci dua bilah karantala dengan likuid kental dan menggosoknya di sela-sela jemari hingga menimbulkan gelembung. Setelah dirasa bersih pada hastanya, kini dibasuh dengan ayar mengalir dari kran hingga menuntas. 

Ibu mulai mengambilkan Bayu sepiring nasi sesuai porsinya, menuangkan lauk pauk di atasnya. “Hmm... enak! Sayur bayam dan tempe...” gumamnya terpejam sambil mengendus aroma nikmat masakan ibu. “Ini kesukaan Bayu. Makasih ya, bu!”

Denting anantara peralatan makan satu dengan yang lain saling berdekatan. Lahapnya suapan Bayu, Pak Hafid, dihadiahi ulasan lengkung melawan gravitasi milik Tika. Hatinya adem ayem tatkala keluarganya menyukai masakan yang ia buat.

Hingga bermenit-menit terbunuh untuk sekedar sarapan, bersiap-siap menuju pabrik pengemban moneter keluarga, atau hendak menuju Yayasan Ardhya Garini di Kota Pahlawan akan dilaksanakan sesaat lagi. 

Lentera Malam | JakeWhere stories live. Discover now