2: Rumah Misteri

2.6K 208 35
                                    

Tiga mangkuk mie instan rebus tersaji di meja makan, juga saos dan kecap. Aurora dan Axio lalu makan dengan lahap, sementara Dena hanya menyuap pelan-pelan. Dia kurang tidur semalam, sibuk menjaga kedua anaknya. Kejadian jelang maghrib kemarin, betul-betul sangat membuatnya ketakutan.

Dena bersyukur, pemilik rumah sudah menyiapkan kompor minyak tanah. Sementara perabotan masak yang berdebu telah dicuci bersih. Sehingga Dena bisa masak dengan mudah. Dia membawa beberapa bungkus mie instan, inilah yang menjadi bahan makanan sarapan pagi mereka.

"Selamat pagi"

Tiba-tiba terdengar suara, juga ketukan pintu yang begitu lembut. Dena berlari ke ruang tamu, menyibak tirai jendela dan menyaksikan tetangga sebelahnya sedang berdiri sambil membawa keranjang berisi roti.

"Silakan masuk, Bu..." kata Dena, usai membukakan pintu.

Wanita tua itu tersenyum, sambil menyerahkan keranjangnya. "Ini ada roti, mungkin anakmu suka. Oh, kenalkan. Nama saya Mariam, tetapi dipanggil Maria, dan di rumah ada anak saya, Darren"

"Oh, saya Dena. Anak saya ada dua, Aurora dan Axio. Kami baru pindah. Maaf semalam... soal kejadian seram itu, saya tidak sempat berterima kasih. Saya sangat takut, Bu!"

Maria tersenyum, sebelum duduk di kursi tua dari jati di ruangan tamu dengan santai. Sementara Dena kemudian sibuk membagi roti dalam keranjang dengan Aurora dan Axio yang tampak kelaparan. Dari malam kemarin mereka cuma sibuk ketakutan, dan semangkuk mie ternyata tak cukup mengenyangkan.

Kedua anak itu cepat berlari meninggalkan meja makan, ketika melihat tetangga baru mereka datang membawa roti. Meja makan mereka sebenarnya terletak jauh di dapur, namun jalurnya lurus menghadap pintu masuk, sehingga ruang tamu yang besar itu bisa terlihat dari tempat tersebut.

"Sebenarnya di sini aman. Cuma namanya situasi jelang maghrib ya, pamali membiarkan anak kecil keluar" kata Maria, sambil tersenyum pada Aurora dan Axio yang duduk mendekatinya.

"Tapi mereka teman-teman yang baik, kok. Bukan setan!" sahut Aurora, membuat Dena nyaris jantungan mendengarnya.

"Oya!" Dena langsung melotot.

Aurora alias Oya, hanya bisa tertunduk takut. Maria mengelus pundaknya dengan lembut.

"Jika ingin bermain, ke rumah saja. Ada Kakak Darren. Jangan bermain dengan siapapun di sini. Tidak semua orang yang kau lihat, betul-betul nyata terlihat..."

"Maksud ibu?" potong Dena.

"Maksud saya, tidak semua orang satu pemikiran dengan kita"

"Apalagi tetangga"

"Nah, paham kan?"

Dena mengangguk. Dia paham soal itu. Saat Hendra berselingkuh, tetangga malah sibuk menggosipkan. Tidak ada yang berpikiran untuk menolong perasaan Dena dan anak-anaknya saat itu. Malah mereka ganas membuat gosip baru yang seakan-akan menyalahkan Dena.

"Itulah tak becus mengurus suami, sampai laki kawin lagi"

"Ranjang sendiri kok dikuasai orang? Lubangnya nggak bersih kali. Udah bau, longgar pula jangan-jangan...."

"Denger-denger katanya udah bunting tujuh bulan dulu, baru terpaksa dinikahi Hendra. Ya... pantaslah jika Hendra tidak puas, jadinya nyari perawan lagi"

"Hamil tujuh bulan? Busyet... udah jelang beranak dong, baru ketemu penghulu. Jangan-jangan... Si Aurora bukan anaknya Hendra tuh?"

Saat itu, Dena cuma bisa menutup telinganya dengan sedih. Berusaha tidak melabrak mulut ibu-ibu kompleks yang pedasnya mirip cabai yang ditaburi merica. Dan pastinya, mereka juga tak punya otak dan hati.

Hoom Pim Pah Where stories live. Discover now