"Jadi penanda tanganannya bukan di kantor?"

"Iya.

Ada kelegaan di sorot mata Cinde. Setidaknya ia tidak perlu berjumpa dengan Nara. Laki-laki itu selalu membuat hidupnya berubah 180 derajat dalam hitungan detik yang selalu membuat hidup Cinde jungkir balik. Sekarang ataupun dulu. Di saat Cinde sudah mulai akan move on, seolah Nara menghantui untuk menjegal niatnya. "Sebenarnya, Pak, bukankah penandatangannya bisa secara digital? Tidak perlu beliaunya datang ke Solo."

"Sebenarnya bisa begitu. Tapi sebuah kerja sama harus dipupuk dari kedekatan hingga kita bisa mempertahankan kepercayaan klien. Relasi itu yang harus kita jaga," ucap Brave tenang. "Jadi, siapkan semua, mulai dari tempat dan menu, serta dokumennya untuk nanti jam 7. Kamu ikut juga, ya?"

"Kenapa saya, Pak? Ada direksi lainnya." Nada protes Cinde kembali mendominasi. Tadinya, ia pikir bisa terbebas dari Nara.

"Sekalian saya mau traktir sebagai balas budi sayur sop kemarin." Brave lalu bangkit, meninggalkan Cinde yang melongo sendiri.

***

Sepertinya selain Cinde dan Brave, tak ada orang yang tahu rencana dinner bersama klien malam ini. Karena Brave mengajak makan malam ke resto Orient yang terkenal dengan menu masakan oriental, maka Cinde pun mematut diri dengan balutan dress batik selutut. Dandanan tipis ia sapukan ke wajah untuk menutup raut pucat agar terlihat segar.

Kecurigaan Mama kembali menggelegak karena melihat Cinde yang mandi lebih awal dan tak segera bergabung di ruang keluarga untuk bercakap santai di sore hari. Rasa ingin tahunya pun semakin besar melihat putrinya sudah rapi saat keluar kamar. "Mau ke mana, Dek?" tanya Mama dengan alis mengerut.

"Dinner kantor, Ma."

Papa yang dari tadi menekuri hp, sibuk membaca berita, seketika mendongak. Kacamatanya melorot ke ujung hidung. "Ke mana?"

"Ke Orient."

Saat Cinde akan menyalami Papa untuk berpamitan, pria paruh baya itu justru bangkit. "Ayo, Papa antar."

"Kok diantar?" Nada Cinde meninggi. Dia tidak ingin Papa tahu ia akan bertemu Nara.

"Iya, Dek. Udah malam. Nanti pulangnya, biar Mas Chandra yang jemput," imbuh Mama setuju dengan suaminya.

"Ma! Aku itu bukan anak kecil!" Kali ini Cinde tidak bisa menyembunyikan gusarnya. Dari kecil sampai usianya sudah seperempat abad, Papa selalu menjadi satpamnya. Ditambah Chandra yang tingkahnya juga seperti bodyguard yang siap menghantam siapapun yang hendak mendekati Cinde. "Ini urusan kantor kok! Masa aku diantar jemput kaya anak kecil!"

"Tetep aja! Papamu khawatir sama kesehatanmu. Sejak kerja, kamu seperti jadi budak korporat. Dinas luar, business trip beberapa hari, trus ini malah kerja di luar jam dinas!" Mama terus saja mengomel.

Cinde menatap Papa yang irit bicara itu. Laki-laki yang di mata Cinde masih sama gagah walau kerut mulai menghiasi wajah itu, tanpa banyak kata berjalan ke arah gantungan kunci dinding dan mengambilnya. Mau tak mau, Cinde pun mengalah, mengingat jam dinding ruang keluarga sudah berdentang enam kali.

Dalam perjalanan menuju ke resto oriental itu, Cinde hanya memberengut. Sikapnya persis seperti anak TK yang tak dituruti keinginannya. Tak ada lisan terucap dari bibir yang selalu berceloteh riang di depan Papa Mama. Dia hanya kesal dengan semua yang terjadi hari ini—ciuman kemarin, Brave yang seolah menganggap biasa, perusahaan yang akan bekerjasama dengan kafe Nara, serta dinner dengan Nara malam ini. Ia luapkan semua kejengkelannya itu pada Papa.

Dehaman berat menggaung di seluruh kabin mobil. Papa yang awalnya bersenandung ringan mengikuti alunan musik MLTR kesukaannya, kemudian membuka suara. "Dek, ada masalah di kantor? Papa perhatikan, sejak kemarin kamu rada nggak fokus. Kalau memang berat, sebaiknya dilepas. Nggak baik menggenggam terlalu erat. Yang ada kita akan kelelahan sendiri. Papa nggak pengin putri sayangnya Papa sakit."

My Cinderella (revisi)Where stories live. Discover now