14. Move On

5.7K 449 44
                                    

Cinde n Brave datang lagi. Plotnya banyak berubah loh. Maapkeun aku yang labil. Semoga cerita kali ini lebih menarik😍

💕💕💕

Melupakan ciuman tak sengaja itu bagi Cinde ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Bagaimana tidak bila semalam ia tidak bisa tidur karena adegan itu seperti selalu berulang di dalam mimpinya? Walau ia terjaga, tetap saja kecupan itu menjadi bunga tidurnya.

Alhasil pagi ini, badan Cinde tak terasa segar. Kelopak matanya berat dan di sekelilingnya tampak jelas lingkar hitam seperti mata panda. Bahkan muka pucatnya tak bisa ditutup oleh make-up tipis seperti yang sehari-hari ia gunakan, sehingga menarik perhatian Mama.

"Dek, kamu kok nggak segar gitu?" tanya Mama dengan mata menyelidik. "Kecapekan?."

Cinde sudah sangat hafal lanjutnya. Dalam hati, ia sudah menduga apa yang akan terlontar dari mulut Mama.

"Apa Mama biilang! Jangan kerja! Kan … kan … jadinya lemes gini? Nggak percaya sih sama Mama!" Perkataan Mama persis seperti apa yang Cinde pikirkan. Selalu saja Mama ingin Cinde beristirahat di rumah, tanpa melakukan apapun. Apalagi alasannya kalau bukan tentang sakitnya. Masalahnya sekarang, bukan tentang pekerjaan pokoknya yang membuat tidurnya terganggu. Melainkan pekerjaan sampingan atas dasar kemanusiaan yang membuat Cinde seolah terseret dalam dunia baru yang mampu membuat jantungnya berderap dengan kencang.

"Mama, ih! Aku nggak kenapa-napa kok, Ma! Santai napa?" Kalau sudah begini, si bungsu keluarga itu akan menekukkan alis.

"Mama itu khawatir sama kamu, Dek! Jangan sok kuat deh! Kalau capek, jangan dipaksa," imbuh Chandra, sang kakak, mendukung Mama.

"Kamu jangan nambahin khawatirnya mamamu, Dek. Mamamu ini udah khawatir masmu ini bakal jadi jomlo legend sejati. Masa iya udah usia mau tiga puluh nggak ada bau-baunya deket sama perempuan. Bisa-bisa Papa terus yang kena omel." Papa menggeleng prihatin meramalkan nasibnya.

"Papa ini! Masih mending Mama ngomel! Kalau Mama diem terus selamanya, Papa bakal kangen suara merdu Mama."

Cinde terkikik melihat kepercayaan diri sang Mama. Konon memang katanya Mama ini termasuk gadis yang banyak disukai laki-laki. Walaupun sekarang badannya melebar di sana sini, tapi Papa selalu memuji mamanya cantik, bahkan di depan anak-anak mereka. Kata Mama, dulu dia sangat aktif dan kadang keheranan sendiri kenapa memilih dengan Papa yang santai untuk menjadi suaminya. Mungkin kalau bukan karena Mama, Papa tidak akan meluluskan kuliahnya dan menjadi seorang papa yang sangat Cinde sayangi dan kagumi.

Sifat Mama Papa yang bertolak belakang, tapi bisa 'klik' ini sangat Cinde idamkan. Sayangnya, Cinde bukan Mama. Secara fisik, ia merasa seperti mendapat komposisi bahan yang koretan alias penghabisan. Semua kualitas fisik terbaik sudah diserap sepenuhnya pada anak pertama. Chandra bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat, berhidung mancung, dan berambut ikal. Berbeda dengan Cinde yang bertubuh mungil dengan kulit eksotis yang membalut raganya. Namun, sejak kecil ia selalu dikuatkan oleh Papa Mama bahwa kulit eksotis adalah kulit idaman para bule, hingga Cinde bisa mencintai dirinya dan tak peduli bila ada orang yang menyebut dirinya Pit Hitam.

Dan, sekarang pun, support itu tak pernah lekang dari hidup Cinde. Papa, Mama, Chandra … selalu mendukungnya walau di dalam tubuhnya kini ada apa-apanya. Sayangnya, sekuat apapun Cinde berusaha menerima kekurangan pada ginjalnya, terkadang ia merutuk karena telah membuat mamanya yang cerewet selalu kepikiran. Tak hanya memikirkan penyakitnya, tapi juga masa depannya.

"Chand, mau Mama kenal—"

Buru-buru Chandra mengangkat pantatnya dan mengacungkan tangan kanannya, memberi isyarat Mama agar tak melanjutkan ucapannya. Sementara itu tangan kirinya mengambil segelas susu yang kata Mama baik untuk tulang aktif anak sulungnya, dan meneguknya cepat.

My Cinderella (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang