3. Ke Semarang

8.3K 669 126
                                    

Begitu melihat Brave masuk dan duduk manis di kabin depan mobil, Cinde buru-buru masuk melalui pintu kanan. Dia berpikir mobil bosnya adalah mobil matic. Namun, saat melihat tiga pedal di bawah, dia hanya bisa menelan ludah. Walau bisa mengemudikan mobil bertransmisi manual, tapi Cinde sudah setahun tidak pernah mengendalikan mobil berkopling.

Dengan tangan yang bergetar dan jantung berdetak kencang, Cinde memasukkan kunci ke lubang. Matanya melirik ke arah Brave yang sedang menekuri layar i-padnya, seolah tidak memedulikan keberadaannya. 

“Kita berangkat, ya, Pak. Bapak berdoa saja semoga kita sampai di tempat dengan selamat.” 

Brave sempat menoleh ke arah sekretarisnya, tapi kembali lagi terpaku pada tulisan di gawainya. 

Cinde mendengkus karena benar-benar dianggap sopir oleh bosnya. Sebenarnya dia ingin memprotes karena ini bukan bagian dari job description seorang sekretaris. Namun, lidahnya menahan getaran rasa tak nyaman. Dia memilih fokus memperhatikan tiang penyangga parkiran khusus CEO saat memundurkan mobil agar tidak menggesek mobil berbodi besar itu.

Selama perjalanan, mata Brave tidak lepas dari gadget-nya. Sesekali Cinde melirik dari ekor matanya, bos muda yang duduk di kursi depan itu sedang sibuk dengan dunianya. Kadang bibir lelaki itu bergerak-gerak tidak jelas seperti sedang memperhitungkan sesuatu dan alis lebatnya mengerut hingga guratan di pangkal hidung tercetak jelas.

"Apa lihat-lihat?" 

Cinde terkesiap saat suara Brave tiba-tiba memecah sunyi. Dia tak menyangka ternyata Brave menyadari bahwa dirinya memperhatikan sang bos.

"Saya punya mata, Pak. Kalau mau ambil kiri, saya pasti lihat spion kiri," jawab Cinde berkelit.

Brave mendengkus, selanjutnya dia kembali menekuri i-padnya.

Pukul 11.45, Cinde akhirnya memarkir mobil SUV hitam di sebuah kantor PT. Es Manis Laris yang memproduksi segala jenis contong es krim. Bukannya menunggu Cinde, Brave langsung mendorong pintu dan keluar dari mobil untuk masuk lebih dulu ke dalam kantor. 

Sementara itu, Cinde yang masih duduk manis di jok mobil, melihat lagi angka di jam tangannya.

"Kurang seperempat jam lagi," kata Cinde pada dirinya saat dia turun dari mobil untuk mengambil tas di kabin kedua.

***

Di sisi lain, Brave sudah masuk ke dalam kantor perusahaan. Di dalam, dia disambut laki-laki yang kira-kiranya usianya sama dengan Brave. Namun, penampilan CEO perusahaan keluarga pembuat contong es krim, terlihat lebih tua dengan perut buncit dan rambut yang sudah menipis.

"Beginilah kantor kami. Kecil tapi jangan diragukan kualitas produknya," kata Burhan sambil terkekeh. 

Brave hanya mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kantor itu. Setiap ruangan ditata dengan konsep minimalis dan terlihat nyaman.

"Mari kita ke atas, ruang meeting ada di sana." Burhan merangkul Brave dan menuntunnya ke lantai atas. Walau tak nyaman tapi Brave berusaha bertahan. Kalau saja vendor contong es krim yang bekerja sama dengannya tidak gulung tikar, Brave pasti tidak sudi dengan skinship berlebihan seperti ini.

Brave lalu dipersilakan masuk ke dalam ruangan di lantai atas yang terletak di sebelah kiri tangga. Dia menurut saja saat tuan rumah mengarahkannya duduk di tempat yang tersedia.

"Sendirian saja, Pak?" Brave baru sadar kalau selama ini Cinde tidak mengikutinya.

"Ah, saya bersama sekretaris saya tadi."

"Kita tunggu atau bagaimana?" tanya Burhan.

"Kita mulai saja langsung. Paling bentar lagi dia nyusul," ucap Brave sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan tengah hari.

My Cinderella (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang