10. Business Trip ke Yogya

6.2K 507 80
                                    

Aku usahain, Cinde bakal daily update. Rewrite ternyata lebih susah karena cerita ini banyak holenya. Semoga semakin nyaman dibaca ya, Deers. Jangan lupa jejaknya

💕💕💕

"Nggak, Pak. Buat apa mikir terlalu jauh? Saya bukan siapa-siapa juga."

Brave mengerjap, tersadar melakukan kekeliruan. Untuk apa juga ia mengatakan hal yang tidak penting seperti itu pada sekretarisnya. Senyum canggung pun terbingkai. Ia seketika berbalik, membelakangi Cinde dengan wajah memerah saking malunya.

"Ish, ngapain tadi aku ngomong gitu?" Brave berdecak keras begitu memasuki ruangan. Langkah panjangnya memburu seolah ingin segera menyembunyikan malunya di belakang meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Debum bendelan berkas yang dibanting lelaki itu menggetarkan dua bingkai foto keluarga di bagian kiri dan fotonya dengan Chilla di bagian kanan. Ia kemudian duduk dengan kasar di atas kursi putar hingga sandaran punggungnya berayun maju mundur.

Dari ekor matanya, Brave melirik ke arah Cinde yang tampak sibuk menarikan jari-jari kurusnya di atas keyboard. Kepala gadis itu bergoyang ke kanan kiri dan bibirnya tampak komat-kamit. Tanpa sadar, tarikan bibir Brave mengembang. Ia heran dengan Cinde yang tampak 'cool' di matanya. Seolah apa yang terjadi di dunia ini, tak berdampak pada mood gadis itu.

Ingatan Brave kembali kepada obrolan singkatnya dengan Prita beberapa menit lalu di ruang meeting.

"Mas, Mas tahu nggak kalau sekarang CEO kita yang terhormat sudah tergoda sama sekretarisnya?" Prita menyipit menatap sengit atasannya.

Alis Brave menukik tajam. "Tergoda? Maksudmu opo?" 

"Iya! Ter-go-da!" Prita memberi penekanan pada kata terakhir. "Waktu di Bali, Mas ngajakin nonton kecak di Uluwatu, kan?"

Kepala Brave meneleng. "Kok tahu? Cinde yang bilang?"

"Bukan! Sekretaris lamamu. Tiara!" sahut Prita. Gadis itu lalu menyandarkan pantatnya di tepian meja dan bersedekap. Matanya masih lekat pada Brave yang kebingungan. "Mas habis dikasih servis apa aja sama Cindil itu? Wahhh … nggak nyangka anak itu kelihatan polos tapi ternyata …."

"Ta! Kamu sembarang aja sih kalau ngomong!" sergah Brave gusar.

"Loh, kenyataan 'kan? Mas udah berpaling dari Mbak Chilla!"

"Apa buktinya?" Kedua alis Brave terangkat ke atas.

"Tadi waktu meeting, habis Mas marah-marah ke stafku, muka Mas berubah seratus delapan derajat pas ngomong sama Cindil!" Prita membeliakkan mata, tak takut dengan pandangan Brave. 

Brave menggelengkan kepala, menyangkal tudingan Prita. Setahun ditinggal Chilla, tak mudah baginya untuk move on begitu saja. Kenangan bersama Chilla selama berpacaran telah melekat di otak Brave dan mengendap di dasar hati pria itu. Jelas sangat sulit baginya untuk berpaling dari Chilla. Walau Anchilla Dominique telah pergi, tapi bayangannya masih menghantui di setiap sudut kantor perusahaan yang telah ia bangun bersama Chilla.

Brave ingat bagaimana Chilla ikut mendesain kantor yang nyaman ditempati para pegawai. Tak hanya itu, dalam menentukan furniture kafe serta cangkir pun, Chilla selalu memberikan usul. Ia akan mencoba duduk kursinya, menumpukan lengan di atas meja, sambil memegang cangkirnya. 

"Meja ini nggak nyaman, Mas. Terlalu kebarat-baratan dan nggak sesuai sama filosofi d'Kopi, 'Dari alam Indonesia, untuk generasi muda'. Kita bisa pake meja ukir simple untuk menunjukkan kekhasan Indonesia. Trus biar kesan mudanya dapet, kita ntar hias dindingnya dengan lukisan artistik yang instagramable. Oh, ya … cangkirnya nggak banget. Terlalu polos!" Begitu pendapat Chilla yang berapi-api saat Brave akan membuat kafe kecil yang menjadi cikal bakal perusahaannya. Siapa sangka usaha ini akan berkembang di luar kota Solo. Bahkan sampai ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk menjalin kerja sama waralaba.

My Cinderella (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang