15. Terjebak

6.1K 452 107
                                    

Hai, Deers! Brave dan Cinde datang lagi. Cerita ini hampir sama plotnya dengan alur berbeda. Semoga kalian sukak. Jangan lupa tinggalin jejak cintanya.

💕💕💕

Jelas saja permintaan Mama itu ditolak mentah-mentah oleh Cinde. Mengajak bosnya untuk dikenalkan pada Mama sepertinya itu bukan ide yang baik. Bagaimana tidak? Mereka hanya berstatus sebagai karyawan dan atasan. Tak lebih! Dan sepertinya reaksi jantung Cinde terhadap ciuman kemarin siang juga terlalu berlebihan. Buktinya Brave berlaku seolah tak terjadi apapun.

Sial! Berkali-kali Cinde mengumpat dirinya karena jantung yang berdetak kencang kala duduk di samping Brave. Ia bahkan takut kalau debarannya bisa didengar sang bos.

"Mbak Cinde, sudah ada kabar barang akan dikirim dari Kintamani Ceramic?" tanya Brave di tengah meeting pagi itu.

Sontak Cinde terlonjak. Lidahnya kaku. Bola matanya mengedar ke kanan kiri, melihat semua peserta briefing yang menunggu jawabannya. "Ehm, sudah, Pak. Kemarin mereka mengirimkan e-mail dan mengatakan kalau barang akan dikirim dalam minggu ini," kata Cinde cepat dengan pandangan tak fokus. la sengaja tak membalas tatapan Brave karena bila Cinde mendapati wajah Brave yang sepaket dengan bibir merahnya, maka otaknya secara otomatis akan memutar peristiwa itu.

Brave tersenyum lebar. "Oh, ya, dokumen perjanjian kerja sama dengan kafe Mas Nara sudah disiapkan pihak legal sesuai hasil diskusi kita kapan lalu di Jogja. Kemarin saya sudah tinjau dan mengirimkan langsung ke Mas Nara. Barusan dia ngirim pesan kalau sudah setuju dengan poin-poin yang kita usulkan. Katanya, sore nanti dia mau ke Solo, jadi mau sekalian tanda tangan kontrak. Jadi, Mbak Cinde, tolong siapkan dokumen kontraknya ya?"

Sebenarnya Cinde ingin Brave menolak tawaran kerja sama dengan kafe Nara. Ia tidak ingin berhubungan dengan laki-laki yang telah melukai hatinya. Namun, sebagai karyawan biasa, mau tak mau Cinde hanya mengiyakan saja.

Embusan napas keras mengibarkan poni Cinde ketika briefing berakhir pada pukul sembilan. Setidaknya ia bisa menenangkan jantungnya karena tak perlu lagi duduk di sebelah Brave. Dengan tatapan kosong, karena otaknya dipenuhi pikiran tentang kejadian kemarin, pekerjaannya yang harus mengirim kontrak, dan tentang Nara yang setahun ini berhasil membangun usaha impiannya, Cinde membereskan barang -barangnya.

"Mbak Cinde, saya perhatikan dari tadi kamu sering ngelamun. Ada masalah?"

Cinde terkesiap dan tersadar saat mendengar suara berat itu menyapanya. Brave masih ada di sampingnya … di ruang meeting itu. Padahal ia mengira sang bos sudah meninggalkan ruangan bersama para direksi. "Bapak kok masih di sini?" Cinde mengerjap, tapi kemudian ia pura-pura menyibukkan diri lagi membereskan kertas yang sebenarnya sudah ia tumpuk karena tak berani membalas tatapan Brave yang intems.

"Ada apa? Apa badanmu nggak nyaman?"

Jantung Cinde berdetak semakin kencang mendengar pertanyaan bernada cemas. Seharusnya tak ada intonasi lembut yang membuai hati gersangnya. Bukannya Brave Ganendra terkenal dengan seorang bos yang galak? Kenapa jadi halus begini?

"Sa-saya … nggak papa. A-ada yang bisa saya bantu?" Keringat tipis mulai merembes karena kegugupannya. Cinde sekarang persis seperti gadis remaja yang sedang berhadapan dengan gebetannya.

Melihat cara duduk Cinde yang tak tenang, tangan Brave terulur untuk mengecek dahi yang terlihat basah. "Kamu sa—"

Namun, secara refleks, Cinde menangkis. "Saya nggak pa-pa, Pak."

Brave menarik tangannya. Wajahnya yang lembut seketika berubah gusar. "Oh, ya, tolong booking-kan resto Orient. Saya mau ngajak Mas Nara makan malam. Biar penandatanganannya di sana sekalian.

My Cinderella (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang