Bagian 17

1.1K 84 0
                                    

_Author POV_

Arslan sangat kecewa dengan penolakan yang diberikan oleh Fathimah. Hatinya sangat terguncang. Ahmad yang melihat kondisi adiknya ini sangat sedih melihatnya. Setiap makan, tatapannya sering kosong. Ia seperti mayat hidup. Tapi Ahmad masih bersyukur ia tidak pernah lupakan kewajiban 5 waktunya. Fathimah adalah wanita pertamanya yang coba Arslan dekati setelah ia dinyatakan sembuh dari kelainannya. Kakaknya khawatir, adiknya akan sepertinya dulu, senang bermain dengan perempuan.

"Aaarrggghhhhh" Teriak Arslan dari dalam kamarnya. Ia hancur, benar-benar hancur.

"Aku sudah melakukan semua arahan Koko. Aku sudah berusaha untuk menjadi istimewa baginya. Mengapa dia masih menolakku, Koko? Dimana salahku?" Ucap Arslan kepada Ahmad ketika Ahmad mencoba menenangkannya.

"Adikku. Istighfar, ayo istighfar. Lihatlah ke dalam dirimu. Kamu berislam untuk siapa? Untuk Allah atau untuk Fathi? Kamu menghafal quran, hadits, belajar bahasa arab. Demi Allah atau demi dilihat sempurna oleh Fathi? Itu yang Fathi tidak mau, Ar."ucap Salim menyadarkan.

"Karena dia sudah menjadi motivasiku, Koko." teriaknya.

"Tapi kamu lebih memujanya dibandingkan Tuhanmu, Allah. Benarkan?" Tanya Ahmad. Ahmad pun baru menyadari bahwa adiknya menuntut ilmu agama adalah karena Fathimah. Karena ingin dilihat istimewa oleh Fathimah. Jika gadis lain mungkin akan sangat tersentuh ketika ada seorang lelaki melakukan kebaikan karenanya, namun Fathimah berbeda. Fathimah melihat kecintaan Arslan jauh lebih besar ketimbang kecintaannya dengan Allah. Mengapa Ahmad baru menyadarinya.

"Kamu lupakan, Fathi. Perkara jodoh semua sudah Allah siapkan. Mungkin kamu bisa dipertemukan lagi dengan Fathi jika memang kalian berjodoh. Sekarang kamu tata lagi hidupmu. Bukankah alasanmu masuk islam karena kamu ingin berjuang demi islam? Ingin habiskan sisa usiamu untuk islam? Ayolah mana adikku yang penuh semangat itu." Ucap Ahmad menyemangati.

_Fathimah POV_

Aku tahu aku egois. Tidak justru aku tidak egois. Aku tidak mau ia terlalu mencintai aku. Bahkan penjelasan panjangnya ke ayahku tadi seakan lebih meperlihatkan bahwa ia benar-benar melakukannya karena aku. Berat sungguh, namun aku harus ikhlas. Tiga minggu aku coba untuk lupakannya, dan aku berhasil di minggu ke tiga. Kemudian ia datang seakan memanggil kembali rasa yang sudah aku pendam. Beginikah rasanya patah hati untuk kedua kalinya? Bahkan patah hati yang kedua ini disebabkan karena keputusanku sendiri. Aku tidak benar-benar menolaknya. Ada harapku mungkin ia akan kembali lagi untuk melamarku ketika sudah tidak ada namaku setiap harinya dalam aktivitasnya.

Satu bulan ini aku coba kembali menata hati. Aku serahkan segala perkara jodoh hanya pada Allah. Bulan Ramadhan ini semoga menjadi bulan penataan hati. Menetralkan kembali hati untuk menerima segala ketetapan di depan nanti.

<Assalamu'alaikum, Rara. Bagaimana tawaran CV ikhwan yang pernah ana tanya? Ana sangat bahagia jika ia ternyata jodohmu.>

Pesan itu seakan mengingatkan aku, bahwa aku pernah menggantungkan jawaban taaruf. Bismillahirrihmanirrahiim

<Wa'alaikumussalam, Haura. MasyaaAllah hampir ana lupa. Alhamdulillah kamu ingatkan. Ternyata ikhwannya masih menunggu ya? Dia sama-sama ngaji juga Haura?>

<Iya dia masih menunggu, Ra. Iya ngaji kok.>

<Ikhwannya sudah tau akhwat yang mau ditaarufi itu ana?>

<Belum, Ra. Kan kamu belum oke waktu itu. Dia Cuma bilang "insyaaAllah ane tunggu">

<Baguslah. InsyaaAllah ana mau taaruf sama ikhwan itu, Haura. Tapi minta tolong supaya dia proses melalui ustadnya saja, Haura. Supaya nanti diproses melalui Ustadzah Maryam saja.>

Haura pun mengucap syukur dan tak lama Ustadzah Maryam meneleponku sampai akhirnya beliau mengirimkan CV ikhwan tersebut kepadaku. Ah aku sangat penasaran siapa ikhwan ini. Ku kholaskan terlebih dahulu tilawahku hari ini sampai dua juz dan ku tunaikan shalat dhuha.

"Ibuuuu." panggilku manja kepada ibuku.

"Ada apa ini, Rara? Kamu mengagetkan ibu."

"Ibu, Ustadzah Maryam kirimkan CV ikhwan tadi. Rara belum tau dia siapa. Ibu mau lihat CVnya sama-sama dengan Rara tidak bu?" Ucapku berharap kami memberikan penilaian bersama.

"Boleh. Ayok Ra." jawab ibunya penuh kehati-hatian.

Koko MualafWhere stories live. Discover now