CHAPTER WOLU😅

18 3 0
                                    

Selamat membaca!☺

"Gue nggak tahu lagi mesti ngomong apa buat nyadarin lo, Fin." Nadira mendesah lelah. Dari raut mukanya ia nampak kecewa dengan apa yang baru saja terjadi.

Mereka---Safina, Syahilla dan Nadira---kini tengah berada di kafetaria yang dekat dengan rumah Syahilla. Mereka bertiga memilih duduk di meja bundar dekat jendela. Dengan ditemani aroma kopi dari masingmasing pesanan mereka.

Syahilla menyeruput kopi hitamnya--karena memang kesukaannya. Sedangkan Safina hanya mengaduk-aduk isi kopiny. Ia sama sekali tak ada nafsu untuk mencicipi kopi tersebut. Meski sejujurnya aroma kopi sudah sangat menggoda perutnya.

Mereka bertiga membahas apa yang tadi terjadi. Safina tahu, ia sangat bodoh. Namun mau bagaimana lagi? Kekagumannya sama sekali tak berangsur pergi. Rasa ingin melindungi justru kian terpatri kuat dalam hati. Lalu ia harus apa?

"Ya terus gue harus gimana, Dir? Gue juga nggak mau kali berada dalam fase benci tapi cinta." Safina memanyunkan bibirnya. Jadilah ia cemberut seperti bebek.

Ia menatap kopinya yang sama sekali tak tersentuh bibirnya itu.

Serba salah memang. Mencintai Oxta dengan segala kesempurnaannya adalah kesalahan yang paling fatal namun indah di waktu yang bersamaan. Ketika Safina menginginkan rasa itu pergi, justru rasa itu menjadi boomerang bagi dirinya. Ia sudah mencoba melempar rasa itu jauh-jauh. Tapi pada akhirnya rasa itu kembali lagi, yang mengharuskan Safina harus tetap menerima kehadiran rasa itu.

Safina mengalihkan pandangannya keluar jendela. Lalu lalang kendaraan berasap adalah pemandangan yang sangat lazim. Juga beberapa pejalan kaki atau sebagian pedagang kaki lima yang tengah menjajakan dagangannya pun sesuatu yang lumrah di Indonesia.

Perhatiannya tertuju pada seorang anak jalanan yang tengah mengamen diseberang jalan sana. Bukan dilampu merah, namun anak kecil itu berada didepan mobil berwarna hitam yang tengah terparkir depan kafe.

Sambil memainkan gitar kecil yang dibawanya, mulut anak kecil itu berkomat-kamit menyanyikan sebuah lagu. Lantas, ia pergi setelah menerima uang receh yang diberikan oleh seorang ibu-ibu disana. Safina masih memperhatikan anak kecil yang berpenampilan lusuh itu.

Terkadang, Safina melupakan bahwa masih ada orang lain yang kehidupannya jauh berada dibawahnya. Terkadang ia lupa untuk mensyukuri kehidupan yang telah Tuhan berikan padanya. Ia masih kerap mengeluh ini dan itu, sementara orang lain berupaya keras untuk memperbaiki kehidupannya selayaknya kehidupan yang dimiliki Safina.

Kesadaran akan nikmat Tuhan yang begitu besar menyentil hati kecil Safina. Ia kini tahu, hidupnya lebih baik dari anak jalanan tadi.

"Sekarang lo jelasin sama kita, pagi tadi lo ngapain sama Oxta?" Pertanyaan Nadira menyentak Safina. Ia dengan sigap menolehkan kepalanya menghadap Nadira.

Gadis berambut panjang berwarna coklat tua itu menatapnya penuh selidik. Picingan matanya mampu membuat Safina seketika gentar menceritakan tadi pagi.

"Yaelah, emang gue ngapain sama Oxta? Deket aja nggak. Jangankan untuk duduk berdua, ada gue aja dia langsung kabur." Sungut Safina. Ia kembali mencebikkan bibirnya beberapa centi.

Sedangkan Nadira ia tersenyum sinis ditempatnya. "Lo curhat?" Lalu diselingi kekehan yang juga bernada sinis. "Sorry, Gue nggak menerima curhatan basi lo,"

"Kok, lo gitu, sih? Apa salahnya coba gue curhat sama sahabat gue sendiri," Nada bicara Safina naik satu oktav. Tapi Nadira justru santai saja.

"Ya gue males aja, sih. Lo 'kan udah disakiti sedemikian rupa sama Oxta, tapi kok mau-maunya gitu nolongin cowok yang udah nyakitin lo. Fin, dengerin gue sekali ini aja. Lo boleh cinta sama orang, tapi please jangan berkorban demi cowok yang nggak peduliin lo sama sekali. Lo nggak perlu sampai rela kek gitu demi cowok yang kurang ajar sama lo.

STUPID GIRL✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang