"Kan … kan … selalu saja omongan Mama dipotong!" keluh Mama ketika Chandra melakukan ritual berangkatnya dengan secepat kilat. Ia menghabiskan minumnya, bersalaman pada Papa dan mencium pipi kanan kiri Mama serta masih menyempatkan menjitak kepala adiknya.

"Habis Mama mau ngenalin Mas Chandra lagi sama anak sepupu temannya teman Mama sih." Cinde meringis sambil mengusap bekas jitakan Chandra. Matanya menatap pria berseragam yang baru diterima menjadi abdi negara di kota Surakarta.

"Mama bingung juga. Kok bisa Chandra nggak punya pacar? Dia deket sama Honey kan? Mereka bukan pacar? Kerja di Jakarta barengan, trus Chandra memutuskan pulang waktu Papa nyuruh nyoba tes ASN, Honey juga ikutan." Mama bergumam sendiri.

"Mereka sahabatan bukan dari SMA? Sudah kena … apa tuh? Friendzone kata anak zaman sekarang?" Papa yang gaul demi bisa mengikuti perkembangan putra-putrinya selalu punya diksi yang tepat bila bercakap dengan siapapun juga.

"Mbak Honey tomboy loh, Ma? Yakin bisa tahan sama menantu kek cowok kaya gitu?" timpal Cinde, mengingat banyak sekali curhatan tentang mertua dan menantu.

Tiba-tiba Mama mengembuskan napas panjang. Ia mendorong piringnya, padahal nasi dan sayur masih bersisa separuh. "Makanya, Nduk, Mama itu mikir besok kamu bakal nikah sama cowok seperti apa? Keluarganya gimana? Mertuamu mau terima kamu apa adanya nggak?"

Kali ini Cinde menyesal sudah mengangkat topik mertua-menantu. Tapi, sepertinya Mama selalu punya cara mengaitkan topik pembicaraan apapun ke arah romansa anak-anak mereka yang belum tampak hilalnya. Buktinya, dari obrolan tanya keadaan Cinde tiba-tiba Mama menjadi cupid bagi anaknya.

"Perasaan lagi ngomongin Mbak Honey, kok bisa nyangkut ke aku?" Cinde membasahi bibir berpoles lip tint coral dengan ujung lidah untuk memuluskan percakapan yang membuatnya tak nyaman. "Ehm, Ma … nggak usah dipikirin napa? Kalau jodoh, nggak akan ke mana. Lagian mana ada laki-laki yang mau sama aku?"

"Nggak usah dipikirin gimana? Ya harus dipikir! Kamu bisa sehat, Cin. Hidup itu misteri. Kita nggak akan tahu waktu kita di dunia. Mau anak-anak atau orang tua, laki-perempuan, sehat-sakit … sama aja. Nggak ada yang pasti." Suara Mama meningkat satu oktaf. "Oh, ya … gimana kalau kamu Mama kenalin sama anak temannya teman Mama."

Decakan Cinde menguar. "Ma, please!"

"Kali ini Mama yang memohon sama kamu. Kebetulan kata Tante Ratna, anak temen SD-nya seorang pengusaha. Dia udah setahun ini jomlo."

"Ma …."

"Ayo, Cin. Demi Mama! Kalau kamu punya satu lagi tambatan hati yang bisa membuat jantungmu berdetak kencang waktu ketemu, trus membuat kamu nggak sabar menanti hari buat ketemu … kamu bakal punya motivasi hidup lebih kuat." Mama tetap memaksa.

Cinde menelan ludah kasar. Dalam hati, Cinde membetulkan apa yang Mama katakan. Sensasi yang disebutkan Mama, memang membuat Cinde merasa 'hidup normal' seperti gadis-gadis seusianya. Namun, rasa itu sudah terjadi sekarang dan Cinde tak yakin reaksi tubuhnya akan sama bila bertemu dengan laki-laki lain.

"Gimana?"

"Emoh, Ma," tolak Cinde lirih.

"Kamu belum bisa move on dari Nara?"

Pertanyaan Mama itu sudah sering kali diungkap. Dalam minggu ini pun mungkin sudah tiga belas kali Mama bertanya hal yang serupa. Dari dulu, Cinde tidak pernah mau menjawab. Tapi sekarang, pertanyaan Mama membuatnya berpikir. Kalau dikatakan belum move on, sebenarnya tidak juga. Ia sudah tak memikirkan lagi Nara sejak disibukkan dengan pekerjaan barunya. Bahkan ia sudah tak sekesal dulu ketika bertemu Nara kembali kemarin lusa. Skenario yang pernah ia susun bila bertemu lagi dengan Nara untuk memakinya dengan berbagai nama binatang di Jurug pun lenyap tak berbekas. Di sisi lain, dikatakan move on juga, Cinde tak yakin. Hanya karena sebuah ciuman tak terduga dengan Brave, Cinde merasakan debaran yang lama tak ia rasakan. Namun, ia masih berusaha menyangkal reaksi tubuhnya ketika mengingat kembali kejadian itu.

"Biasa aja sih. Bukannya kita kudu menatap masa depan seperti kata Mama?" Cinde berusaha berkelit.

"Bukan itu jawabannya. Yeay or Nay?" tanya Mama sambil menatap Cinde tajam.

Cinde kini seolah di persimpangan jalan. Dua pilihan Mama biasanya dijawab dengan kebisuan. Namun akhirnya ia memilih :

"Nay!"

"Oh, ya? Kamu sudah bisa move on dari Nara?"

Cinde bimbang. Tangan kirinya turun untuk meremas pahanya. "Y-ya, kira-kira gitu. Buat apa menghabiskan waktu untuk orang yang nggak sayang aku?"

Mama tersenyum miring penuh kemenangan. "Kalau gitu kenalkan Mama orang yang membuat kamu move on dari Nara!"

💕Dee_ane💕



My Cinderella (revisi)Where stories live. Discover now