20. The Truth

2K 286 75
                                    

Aku belum mati. Dan JR kembali, annyeong! 🍀
.
.
.
.

.
.

Seokjin menggunting ujung-ujung dahan bonsai yang tertata rapi di halaman belakang mansion Jungkook. Pria itu juga memsang beberapa kawat baru pada ranting bonsai dengan kuat. Ia melakukan ini di setiap pagi atau sore hari ketika semua tugasnya selesai. Seokjin menikmati ini, ia menyukai tanaman hias dan bonsai adalah tanaman yang membuatnya kagum. Mereka nampak seperti pohon rindang dengan ranting-ranting kokoh yang teratur, sayang mereka hanya miniatur. Hanya tiruan.

Sebagian orang mengatakan bonsai malah dapat mengundang kesialan karena cara tanam mereka yang cukup menyiksa. Dikekang, diikat dan dipangkas, agar terbentuk sesuai dengan yang dikehendaki. Seokjin tersenyum dengan jemari lincahnya masih menyiang ranting pohon kerdil itu.

Manusia memang makhluk kejam.

Kaito Tsukasa, sang pelatih tembak pribadinya selalu bisa menebak perasaan Seokjin dari cara ia menata pohon bonsainya. Makin kuat kekang kawat yang Seokjin buat, makin tertekan dan tidak stabil emosi di dalam diri Seokjin saat itu.

Tsukasa tahu siapa Seokjin dan mengapa pria itu ada di sini.

Seokjin terlihat seperti orang mati saat pertama kali sampai di Yokohama. Tidak ada aura kehidupan di sekitarnya dan tidak terpancar sinar apapun dari sorot matanya. Seokjin seakan mati dari dalam. Ia tidak pernah merespon apapun yang Jungkook katakan padanya, ia hanya terus mengacuhkan pria itu. Seokjin membiarkan pria itu menyentuhnya, karena ia sudah merasa bukan seorang yang hidup lagi. Hingga satu hari, Tsukasa menawarkan diri pada Tuan Muda Jeon untuk melatih Seokjin. Sekedar, agar pria itu mampu melindungi diri.

Seokjin terlalu rapuh untuk bertahan di lembah hitam Chil Sung Pa.

Ia tidak menunjukkan progres apapun saat satu bulan pertama mempelajari perlengkapan tembak dan antek-anteknya. Seokjin bahkan terus-terusan melukai dirinya sendiri saat merakit senjata api. Dan pada satu kalimat Tsukasa yang merubah dirinya.

"Jinsei wa seicho o tsudzukete imasu, watashitachi ga nikutai-teki, seishintekini seicho o yamereba, watashitachiha shinda hitobito no yona monodesu."

Seokjin tak mengerti bahasa Jepang sama sekali 1,5 tahun yang lalu. Hingga kalimat itu hanya lewat begitu saja. Barulah setelah Tsukasa mempelajari bahasa isyarat sederhana setelah 6 bulan waktu latihan Seokjin, pria itu memahami kalimat bijak itu.

'Kehidupan itu akan terus berkembang. Bila jika berhenti berkembang, secara fisik dan juga mental, kita akan sama saja dengan orang mati.'

'Hargai setiap proses Jin, manfaatkan segala yang ada.'

Benar, manfaatkan segala yang ada.

Seokjin tidak berhati-hati saat memegang ujung kawat tipis yang tajam, hingga ia berdesis menahan perih saat salah satu jemarinya tergores besi itu.

"Tuan Seokjin."

Seokjin menghentikan gerakan tangannya dan menggedikkan kepala, memberi tanda bahwa ia mendengarkan.

"Tuan Muda, menunggu Anda di ruang tengah. Ia ingin berbicara pada Anda sebelum berangkat."

Ah~ pria itu memang mengatakan bahwa ia akan berangkat ke Brazil minggu ini. Seokjin menepuk kedua bilah tangan, menghilangkan tanah tanaman yang menempel di ujung jemarinya dan mengabaikan rasa perih akibat luka gores. Ia mengikuti Yugyeom yang telah berjalan lebih dulu.

Jungkook berdiri di tengah ruangan dengan beberapa wanita perancang busana yang biasa menyiapkan segala kebutuhan pakaian yang ia kenakan. Mereka membantu Jungkook merapikan jasnya, kemudian salah satu wanita akan memasang dasi padanya namun Jungkook menolak dan meminta dasi itu.

Just RoommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang