Chapter 4

158K 11.8K 866
                                    

ALYANATA

"Lo yakin mau switch ke dua-satu?"

Aku memindahkan handphone dari telinga kanan ke telinga kiri agar tangan kananku bisa lebih leluasa menyeret koper.

"Kuat gak lo?" Lagi-lagi suara Jane terdengar sebelum aku merespon pertanyaan sebelumnya.

"Kuat. Gue udah pernah latihan sampai sejauh itu kok dan finish. Yah... walaupun biasanya di kilo sembilan belas gue udah jalan kaki sih, bukan lari lagi..."

"Ya udah, lo punya surat keterangan dokter gak? Itu kan wajib disertain kalau gue mau ngambilin race pack lo."

"Ada, ntar gue kirim di WA ya," tukasku. "Eh Jane, kalau antrian racepacknya HM panjang, lo gak usah antriin gue. Dua jam lagi juga gue udah nyampai disana."

"Santai, gue kan juga HM." Jane terkekeh di seberang sana. "Kevin doang yang jadinya FM." Ia menyebut nama pacarnya yang kebetulan juga memiliki hoby yang sama, mengikuti marathon event yang bisa sekalian jalan-jalan. Sementara untukku dan Jane—teman satu divisiku yang juga adalah Vice President—kami udah sering mengikuti event seperti ini. Kami emang bukan maniak olahraga, tapi dalam hal marathon, cukup oke, kok. Dimulai dari beberapa tahun lalu, kami mencoba dari 5K, lalu 10K, lalu 21K atau Half Marathon, kemudian aku bahkan udah mulai mencoba 42K alias Full Marathon tapi belum cukup yakin kalau di race resmi. Walaupun nggak mengejar speed, bisa finish aja udah lebih dari cukup. Karena bagi kami, ada rasa puas dan senang ketika sedang berlari dan melihat sekeliling—terutama jika lokasinya berganti setiap eventnya—dan ketika berhasil finish.

"Arga jadi ikut gak sih?"

Langkahku tiba-tiba melambat mendengar pertanyaan Jane. Arga memang salah satu anggota tetap geng marathon kami. Mungkin itu juga salah satu alasan buatku kenapa event-event sebelumnya selalu menyenangkan—tidak peduli seburuk apapun EO-nya—karena kehadiran Arga.

Namun sekarang berbeda. Aku sebenarnya sudah tidak berharap akan kehadiran Arga jauh sebelum cowok itu datang ke ruanganku beberapa hari lalu dan dengan hebohnya meminta maaf kalau ia terpaksa harus membatalkan keikutsertaannya karena ia dan tunangannya sudah membuat janji dengan Wedding Organizer.

Wedding Organizer. Bersama tunangannya.

Pasti memang lebih menyenangkan bertemu orang yang dia cintai dibanding marathon bareng aku, Jane, dan yang lainnya. Pikiran itu membuatku tersenyum miris. Hidup lo Al, ngenesin banget sih. Aku mendesah lalu mempercepat langkah bersamaan dengan panggilan boarding yang menggema.

Seperti kata orang-orang yang pernah mengalami patah hati, travelling adalah salah satu obat manjur untuk melupakan masalah hati.

* * *

PRADITYA

"Lho? Radit?"

Gue yang semula asyik membaca artikel di iPadnya, menengadah dan surprise melihat seseorang yang berdiri di samping kursi gue dengan wajah yang familier. "Alya?" gue menyapa dengan nada setengah terkejut. "Hei! Lo flight ke Bali juga?"

Alya mengangguk sambil memasukkan kopernya ke dalam kabin lalu buru-buru duduk di kursinya—yang letaknya di seberang namun sejajar dengan kursi gue—karena penumpang economy class akan segera masuk.

Gue menaruh kembali majalah yang baru aja gue baca ke kantong kursi dan memilih mengobrol dengan Alya di tengah-tengah para penumpang yang tengah masuk satu persatu. "Sendirian? Dinas?"

"Personal trip." Alya tersenyum kecil. "Lo sendiri?"

"Both," ada jeda sebelum gue menjawab pertanyaannya karena rombongan keluarga yang baru aja melintas di antara kami dan ga ada spacenya sama sekali. "Senin gue ada dinas disana. Lumayan sabtu minggu bisa gue pakai buat personal dulu."

Retrocession (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang