Chapter 2

159K 12.5K 823
                                    

(disclaimer : Chapter 2 has been revised on Aug 7, 2020 - all inline comments have been moved into comment section below)



ALYANATA

WideNation Bank—khususnya untuk headquarter—punya kebijakan flexi time, which means pegawainya bebas datang jam berapapun, asal jangan lewat dari jam 9 pagi, tapi tetap dengan konsekuensi 8 jam kerja minimal. But minimal doesnt mean that you can go home right after the eight hours, kan? Jarang malah bisa kayak gitu, adanya pulangnya konsisten di atas jam tujuh atau bahkan bisa sampai midnight. Tapi dibalik jam kerja flextime itu juga ada pros dan cons-nya. Cons-nya, aku jadi susah kalau mau mengadakan meeting sebelum jam 9 pagi karena audience-nya belum pada datang semua. Pros-nya adalah aku belum dihitung telat kalau tiba-tiba kena macet yang unpredictable dan juga aku jadi punya banyak waktu tenang sebelum mulai kerja—yang berlaku kalau aku datangnya cukup pagi.

Seperti sekarang, atau mungkin akhir-akhir ini. Tidak, lebih tepatnya di saat hidupku masuk di tahapan galau. Yeah, blame me because I'm using that 'alay' words. Jam absen bahkan baru menunjukkan pukul tujuh yang berarti aku masih punya lumayan banyak waktu sebelum jam kerja resmi. Biasanya aku datang pagi-pagi dengan tujuan ingin nge-gym dulu di fitness center kantor. Tapi kali ini tidak. Aku lebih memilih nangkring di Starbucks kantor, yang untungnya masih sangat sepi. Setelah memesan segelas Americano, aku menuju spot favoritku di salah satu sudut dengan pemandangan sebagian Jakarta Selatan dari lantai 21. Tempat yang hampir selalu berhasil bikin lupa sejenak dengan apapun yang mengganggu pikiranku, termasuk sekarang.

Baru juga duduk beberapa menit, tiba-tiba handphone di atas meja bergetar bersamaan dengan notifikasi Whatsapp yang muncul di layar.



Arga TRS : Alya dear, cuma mastiin lo gak akan ada perdin hari ini sampai besok kan? Jangan sampai ya.



Aku menghela napas dan menaruh kembali handphone-ku. Untung ada orang lain di sekitarku saat ini, kalau nggak, ingin rasanya kubanting handphone ini sambil mengumpat. Okay, mungkin aku jadi kedengaran kayak cewek barbar tapi itulah yang aku rasakan sekarang. Jangankan perdin, mutasi keluar dari Jakarta kayaknya hal yang sangat kuinginkan sekarang, biar nggak usah datang di engagement party besok itu.

Satu hal yang positif, yeah I'm still trying to think in a positive way, bahwa statusku sekarang bukan pacar siapa-siapa. Yang artinya besok aku nggak usah akting jadi double agent. Aku hanya perlu berakting bahagia di depan Arga and Karin. Sisanya nggak ada yang akan pay more attention terhadapku.

Ngomong-ngomong, kalimat 'aku bukan pacar siapa-siapa' bukan berarti aku semenyedihkan itu. Oh oke, aku semenyedihkan itu kalau menyangkut Arga, tapi maksudku adalah hidupku bertahun-tahun ini sempat kok diisi oleh beberapa cowok. Empat, lebih tepatnya. Hey, empat bukan angka yang terhitung banyak kan? Dengan tidak menghitung masa-masa pacaran jaman seragam sekolah. Yang pertama ada Fedi. Aku bertemu dengannya saat kuliah S1 di UI. Tidak banyak yang bisa diceritakan sebenarnya. Kami berpacaran layaknya anak delapan belas tahun pada umumnya dan berpisah ketika kami berdua lulus dan hilang kontak. Kemudian yang kedua ada Dimas. Waktu itu kami sama-sama kuliah S2 di Duke, walaupun dia di jurusan yang berbeda. Dimas is such a perfect guy, for me. Dua bulan kenalan dengan dia dan delapan belas bulan berpacaran dengannya cukup membuatku saat itu yakin dengan seorang Dimas Atraja. Aku bahkan sudah berencana mengenalkannya kepada orang tuaku kalau mereka berkunjung saat graduation nanti. But guess what? Justru saat itu yang kukenalkan ke orangtuaku adalah dia... dan keluarganya. Yep, keluarga dalam arti istri dan anaknya. What a baddass, isn't he? Untungnya aku masih tau caranya bersikap classy. Tersenyum, menyapa ramah istri dan anaknya. His son is five years old, so adorable, not like his stupid father. Walaupun setelah itu si Dimas brengsek berusaha menjelaskan bahwa sebenarnya dia berniat menceraikan istrinya dengan alasan blablabla dan lebih memilihku. Hell yeah. Aku ingat yang kulakukan saat itu hanyalah menatapnya dingin dan meninggalkannya. Literally, meninggalkannya. Aku tidak menangis sedikitpun, or at least nggak di hadapannya. Justru kalau mau mengikuti kata hatiku waktu itu, aku benar-benar ingin menggampar mukanya sampai bonyok. Delapan belas bulan, saudara-saudara! And he never mentioned that he already HAS A FAMILY!

Retrocession (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang