12. | it's not the pain, it's a tryout!

Mulai dari awal
                                    

Oke, aku siap. Memberi senyuman untuk pemberi upah itu, lalu dengan profesionalitas yang kujunjung tak kalah hebat, aku duduk di hadapannya, menyodorkan lembaran-lembaran kertas.

Di dalam sana, aku sudah mengetikkan lengkap dengan dialog, waktu, setting lokasi bahkan rekomendasiku soal pemainnya. Niatnya, aku ingin menggunakan pemain yang dulu pernah memerankan salah satu karakter drama kami. Tapi, semuanya bergantung pada sang raja yang sekarang sedang membolak-balik kertas di tangannya.

"Gue suka topik ini."

Aku menyisihkan rambut ke belakang telinga. Apa indera pendengaranku baru saja keliru dalam bekerja? Mas Dhana mengakui secara gamblang kalau menyukainya? Ya Tuhan, setidaknya, di tengah badai, selalu akan ada pelangi---well, agak mustahil, tapi nggak apalah. Karena biasanya mas Dhana hanya akan mengangguk sambil mengatakan 'okay sip' andalannya itu.

Mungkin benar, dia di Malang sudah menemukan ustadz ampuh untuk membersihkan dirinya.

"Walaupun gue nggak suka cewek yang lebih tua, karena menurut gue lebih menarik cewek yang jauh di bawah gue umurnya."

"Tapi banyak kok, Mas, cowok yang suka sama perempuan di atasnya." Aku mengatupkan kedua tangan di atas meja. Aku sudah tak segugup tadi. Ini kabar gembira. "Jadi, kisah ini tetap masuk akal. Biasanya alasan psikologisnya karena si cowok butuh sosok ibu di diri si cewek, pengin dimanja."

"Ohya?"

"Iya. Mas Dhana nggak tahu soal Rafi Ahmad dulu sama Yuni Shara? Darius dan Dona Agnesia? Terus yang kemarin Ajun sama istrinya?"

"Otak lo encer banget kalau ngomongin gosip. Diminta presentasi lewat video call aja nggak sanggup."

Ya Rabb.
Aku menelan ludah.

Lalu, berusaha setenang mungkin, akhirnya aku hanya mampu meringis. "Yang itu aku ketiduran, Mas. Maaf ya. Lain kali aku pasti siap kok! Aku janji."

Dia nggak menjawab, melanjutkan aksi menilainya pada hasil otakku itu. Selama dia membolak-balik si lembaran, aku merapalkan doa agar tak banyak revisi. Atau, setidaknya jangan rombak besar-besaran karena sungguh, otak dan hatiku sedang tak dalam kondisi prima.

Aku tidak yakin bisa menyelesaikannya dengan maksimal.

"Ini dialognya jijik banget nggak sih, La?"

"Yang mana, Mas?"

"Yang ini."

Ya tolong dibacain dong, Panjul!

Tahan, La, tahan. Aku mengulurkan tangan, hendak mengambil kertas dan berniat mencari dialog yang dia maksud. Namun, dia malah menahan kertasnya, dan akhirnya kami saling tatap dengan sama-sama memegang kertas dengan sedikit tarikan.

"Biar aku lihat, Mas."

"Nanti lo nggak tahu bagian yang mana."

"Terus? Maksudku, aku liatnya gimana?"

"Sini." Kepalanya bergerak ke sisi kiri tubuhnya. "Berdiri di sebelah sini. Gue tunjukin."

"Ohalah." Aku langsung bangkit, melangkah mendekatinya hingga bisa berdiri tegak di sebelah mas Dhana. "Yang mana? Kayaknya aku ngantuk itu makanya mungkin menjijikkan." Aku ketawa pelan.

"Yang ini."

Kucondongkan tubuh karena mas Dhana nggak terlihat mau mengangkat kertas itu ke arahku, ia tetap meletakkannya di atas me... ya Tuhan, parfumnya kalau dalam jarak tanpa celah begini kenapa bisa sewangi ini sih. Apa sebegini wanginya parfum lelaki uang?

Wangi tubuh lelaki adalah kelemahanku lainnya.

Aku benci.

Aku berdeham kuat, semoga dia nggak menyadari kalau aku sudah mulai nggak konsen. Mas Dhana hanya nggak tahu aja, kalau aku sering mengeluh karena Hago terlalu wangi. Bukannya nggak suka, justru saking sukanya aku sampai pusing karena kebingungan cara mengatasi diri.

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang