12. | it's not the pain, it's a tryout!

29.2K 5.2K 739
                                    

today's challenge: commend with your favorite emoji.  mine is 🌚








"Mbala! I told you I would get the best experience, remember?"

Sebetulnya aku malas tertawa, tetapi mengingat bagaimana sama persis ucapan Bee dengan apa yang kubayangkan membuatku gagal menahan diri. Jadi, yang kulakukan adalah mengangguk, menatapnya.

"I did!"

Aduh, Bee, kalau aja kamu tahu bagaimana keadaan rumah+studio saat ini, kamu pasti ketakutan dan akan berlari ke pandan uangmu itu. Tapi sayang, si anak riya ini nggak akan paham karena yang ada di otaknya pasti cuma cara untuk pamer terhadapku.

"The Museum ... what's the name, Pandan?"

Mas Dhana berhenti melangkah tepat di depan pintu ruangannya, ia memandang kami bergantian. "Museum Angkut."

"Ya! It was coool! The Park was coool! Bee juga suka banget sama pendolnya! It was so delicious! You must have some!"

"Wah, cooool, Bee!" Aku meringis, ketika mas Dhana melirikku. Semoga dia nggak paham kalau pujian dan senyumku untuk Bee ini hanyalah dusta. "Mbayen mana? Kamu tadi kayaknya dicariin."

Alhamdulillah banget akhirnya dia mengangguk, berlari menaiki tangga. Bee dan Mbak Yeyen memang tak bisa dipisahkan. Aku kadang iri, cewek beruntung satu itu bisa pergi ke mana pun mas Dhana dan Bee berlibur.

Apa perlu aku menjadi pengasuh agar nasibku sama bagusnya?

Aku mengelengkan kepala. Dengan cepat menyusun print-an naskah untuk kuberikan pada mas Dhana yang sudah hilang ditelan pintu. Selesai itu, aku meninggalkan mesin print dan berjalan ke ... ya Tuhan, jantungku rasanya sesak banget melihat kang Denny yang tak memberiku senyuman atau kalimat canda yang lebih ke ngenyek-nya itu. Dia hanya diam, lalu berjalan ke mejanya.

Kulirik ke meja Uda, dia juga sedang memperhatikanku. Ternyata rasanya sama sesak saat Uda malah tersenyum, mengatakan "Nggak apa-apa" tanpa suara.

Hari memang berjalan begitu lambat, tetapi mau nggak mau aku harus melewatinya meski dengan hati yang terluka. Hari Minggu kemarin, aku menemani Hago kondangan dan semua senyum juga kalimatnya yang hari itu tanpa nada tinggi, nyatanya tak mampu menyembuhkan luka di hati karena ulahku sendiri.

Lalu, semalam, mas Dhana sudah sampai di Jakarta. Aku mengetahui ini dari grup yang mulai membahas mengenai next drama. Tak ada yang berubah dari ketiga abangku saat membahas judul baru, mereka masih sama. Hanya saja, aku benar-benar kehilangan rasa keluarga begitu aku menginjakkan kaki di lantai ini, tadi pagi.

Abang hanya mengatakan kalau aku diminta mas Dhana ke ruangannya setelah nge-print naskah. Lalu, kang Denny barusan datang tanpa kata. Hanya Uda, yang tadi pagi masih senyum, tetapi tak mengatakan apa pun.

Ini pilihanmu kan, La? Kamu yang meminta mereka memperlakukanmu hanya sebagai patner kerja?

Jadi, nikmati saja.

Aku menarik napas, mengembuskannya pelan setelah mas Dhana mengatakan 'masuk' tepat aku rampung mengetuk pintu ruangannya. "Memang harus begini, La. kerjaan tetep jalan meski lo lagi kacau." Akhirnya kubuka pintu itu dan kutemukan mas Dhana di kursi kerajaan sambil menatapku.

Jantung, jaga diri baik-baik. Tidak ada yang bisa membelamu.

Suara, jangan sampai gugup, atau mas Dhana akan mengetahui semua tentang masalahmu dengan para abang.

Otak, jangan sampai lambat dalam berpikir, agar semuanya berjalan semestinya.

Terakhir, hati, jangan mencampuri urusan kali ini. Kamu harus duduk diam di tempatmu.

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang