8. | i don't need nothing else but ... him.

32.2K 5.5K 895
                                    

challenge of the day:
komen pake singkatan ala pandan, bisa?🌚)










"Makasih, karena udah kasih aku kesempatan."

"Lagi."

Dia ketawa, aku mendengus.

"Tapi janji, saat aku bilang jangan datang ke apartemen, berarti jangan datang."

"Tapi---"

"Sayang ... nggak cuma kamu yang selalu punya alasan buat nyuruh aku ini-itu, tapi kali ini aku pun sama. Ngerti kan? Demi kebaikan kamu juga, kalau para abang masih tahu kamu sering ke sini, habis kamu dijadiin santapan tengah malam."

Dia bergidik ngeri, lalu mengangguk meski kelihatan nggak ikhlas. Ya gimana mau ikhlas, seorang Hago mana pernah disuruh oleh Lapia gitu kan. Secara, dia melulu yang selalu memintaku melakukan ini-itu-sana-sini-begini-dan-begitu!

Hah, aku ngomong kayak seolah-olah yang dijadikan objek bukan diriku sendiri.

Sekali lagi, kutatap wajah Hago yang bekas lebamnya belum sepenuhnya hilang. Cowok ini ... entah punya magnet apa sampai bisa membuatku tanpa jaminan lain bisa dengan begitu saja memaafkannya. Dia sebetulnya manusia biasa. Maksudnya, bukan pula anak uang seperti anak ketua DPR, misalnya. Atau, anak ketua direktur PLN, bisa. Terlebih, dia bukan Rafi Ahmad yang bisa seenak udel jual-beli mobil sport.

Dia ... memang cuma Hago Abdhika. Mulai mendekatiku di detik-detik menjelang semester-semester akhir. Juga, membantuku dalam penyelesaian proses tugas akhir. Hago yang selalu ada di malam-malam lemburku sebelum akhirnya dia bisa bekerja di kantor perpajakan.

Basically, I think I can't be without him. Maksudnya, ya gitu, sometimes, I feel like I don't need nothing else but ... him.

Duh, dangdut abis tapi aku senyum-senyum sendiri saat sekarang tubuhnya mendekat, tangannya mengelus pipiku, lalu ia berbisik lirih, "Aku kangen kamu banget, Sayang." sebelum akhirnya menciumku.

"Aku juga kangen."








***








"Kamu baik-baik aja?"

Menggeleng, tapi dengan cepat aku mengangguk. Napasku masih ngos-ngosan karena berlari dari halaman depan, menaiki tangga hanya karena takut sang monster semakin mengeluarkan racun besi.

"Abang tadi tanya, dia juga cuma bilang 'ya biasalah, kan biasanya juga kelar satu series dia harus ngajuin yang baru' gitu. Ini nggak biasanya sih dia kacrut begini."

"Udah, Abang ... aku nggak apa."

Tapi bohong. Otakku rasanya sudah mau menggelinding. Atau, harusnya nggak apa, biar sekalian aku sodorkan untuk menjadi sarapan buat mas Dhana. Lumayan kan dia makan otak cewek, biar hatinya yang selalu panas itu sedikit lebih mengimbangi Sprite.

"Abang mau ikut ke dalam, tapi dia udah ngewanti editannya ini harus cepat kelar dengan alasan dia ke Malang biar nggak diteleponin."

"Iya, Abang ...."

"Kang Denny juga malah sibuk mau buka outlet baru buat baksonya lagi."

"Abang ...."

"Uda Aldi harus mantau barang-barang yang baru datang di butiknya."

"Abang!" jeritku, saking kesalnya. Ini kenapa dia yang malah jadi bawel kebangetan! "Aku panik, tahu! Jangan bikin makin panik! Abang yang belahan jiwa mas Dhana aja keliatan clueless begini apalagi aku? Mati aku! Mati! Bisa-bisa disemur badanku ini dan aku yakin bagian favoritnya dari dagingku adalah otak, karena keliatan banget dia mau bikin aku nggak berotak. Nggak bisa mikir tahu! Kesel! Sebel!"

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Where stories live. Discover now