4. | you could break my heart in two. but when it heals, it beats for you

38.5K 5.2K 378
                                    

akutuh bingung, abisnya jadi bucin enak sih.
---si pacar yang sadar nggak sadar jadi goblok






"Uda itu kalau diturutin, maunya Mbak Lia itu di rumah terus, La. Nggak boleh ke mana-mana. Jangan ketemu sama temen-temennya dan yang paling penting Uda nggak suka dia main sama sahabat cowoknya itu."

Aku menyimak, sambil menyiapkan isi description box untuk epidose terakhir nanti.

"Tapi, Uda sadar diri, Udah bukan pemilik dari tubuhnya Mbak Lia. Mbak Lia ya punya dirinya sendiri, Uda cuma pasangannya yang kalau dia izinkan buat nyentuh, baru bisa nyentuh. Udah bukan Pendoktrin otaknya, yang harus maksa dia buat memikirkan dan melakukan apa. Udah manusia, bukan Tuhan kan? Tuhan aja nggak segitunya kayaknya."

Selesai mengetik, aku menyimpan draft-nya sebelum nanti kukirim email ke mas Dhana dan para abang.

Sekarang, aku mendorong mouse, menoleh ke samping untuk menyimak omongannya lebih dalam. Uda lagi sibuk lihat-lihat file di komputer hasil pindahan dari kamera. Aku nggak tahu dia lagi ngerjain apa, kayaknya ... itu file lama deh.

Entahlah.

"Terus gimana caranya Uda bisa mikir begitu?" Tangannya berhenti bergerak, dia noleh ke aku. "Maksudku, gimana caranya biar Hago punya pikiran kayak gitu? Aku tuh memang capek lho, Uda, tapi sayang dia. Banget."

Kesel! Kenapa hati dan logika selalu bermusuhan untuk masalah rasa sih. Coba yang enakan dikit dong, biar jalan mulus macam tol.

Uda sudah menatapku sempurna. Tatapannya lembut, aku selalu kalah kalau berhadapan dengan lelaki ini. Mana bisa aku teriak-teriak meski dalam hati seperti saat aku lagi sama mas Dhana atau kang Denny atau abang sekalipun.

Bersama Uda, aku nggak bisa buat nggak menceritakan semuanya.

Termasuk kebodohanku yang terus-menerus memaafkan Hago. Yang terbaru adalah setelah kejadian di depan studio+rumah kemarin itu, sampai di kost, aku masih marah banget campur malu dengan mas Dhana dan semua-muanya rasa gabung jadi satu. Tapi, melihat muka memelas Hago dan kalimatnya yang meyakinkan kalau semua itu dia lalukan demi aku ... rasanya balik lagi, aku memang bisa patah karenanya, selanjutnya juga bisa menyayanginya semudah itu.

I hate myself for being stupid. I do.

"La, Uda, Abang, Kang Denny dan mas Dhana itu kenal nggak cuma hitungan hari. Uda memang yang paling kecil dan adik tingkat mereka, tapi kalau kamu mau nguji pertemanan kita, boleh aja."

Aku mendengus saat ia tertawa di ujung kalimatnya.

"Kok gitu responsnya?"

"Hubungannya apa duong!"

"Aduh, sebenernya para abangmu yang lain itu udah mewanti Uda buat nggak bagi-bagi rahasia ini lho. Katanya, tunggu sampai kamu tumbuh besar."

Seketika aku melotot. Dengan cepat, aku menyanggul rambutku supaya udara dari AC itu mask ke pori-pori leher dan berdoa saja bisa mengatasi kekesalanku ini. "Bodo ya, Uda, bodoooo! Demi apa pun, La udah dua puluh tiga tahun! Dari mananya nggak tumbuh besar! Semuanya udah besar lho!"

"Jangan lupa kami udah tiga lima dan tiga tujuh. Berapa perbedaannya, La?"

"Nggak asyik ah!"

Orang-orang suka banget diskriminasi kematangan pribadi hanya lewat angka. Mau tua-tuaan gitu ya? Ayok, siapa takut! Ya paling juga aku kalah. Itu kan urusan belakang.

"Yaudah. Mumpung mereka lagi ke lokasi, Uda ceritain. Tapi, janji di depan mereka pura-pura nggak tahu. Sampai nanti Uda sendiri yang bilang. Gimana?"

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang