04

22 10 0
                                    

Dingin, udaranya begitu menusuk sampai membuat pakaian yang dikenakannya seakan hilang begitu saja. Ingin sekali gadis itu memeluk dirinya sendiri yang berbalutkan selimut tebal dan bercengkrama bersama keluarga yang sangat disayangnya untuk melupakan hari yang sangat berat ini.

Namun apa yang bisa ditolaknya dari pemuda yang kini sedang memeluk erat tubuhnya, membuat pipinya terasa memanas sehingga pakaian yang ia kenakan menjadi berlapis-lapis. Kehangatan tubuh yang disalurkan lelaki berhelai emas itu membuatnya merasa nyaman, membuat dia merasakan kehangatan sang ibu yang telah tiada, meninggalkan Axellarion.

Eliana masih berada dalam pelukan Oz, menanti memelannya kepakan sayap pemuda itu seraya menenangkan dirinya dari situasi yang tidak ia duga sembari membiasakan bau khas dari pemuda emas ini.

Kepakan sayap keemasan Oz masih belum memelan, membuat udara yang ditembus dua awak peri itu menimbulkan angin, mengembus keduanya, membuat rambut hijau pucat Eliana menari-nari. Mata Oz menyipit, menatap ke angkasa dan berhenti, mengambang pada ketinggian sekian meter di atas gigantic tree, menatap sekeliling dengan bangga.

Seraya mengatur irama napasnya, Oz mengatakan, "Lihatlah, Eliana." Suaranya begitu lembut, seakan menyatu dengan angin yang mengantar musim dingin.

Dibukanya mata hijau terang itu, membulat, dan terkagum. Cahaya kehijauan sang bulan mengisi kelamnya mata yang merindukan kehangatan. "Cantiknya." Bibir tipis Eli bergumam, mengutarakan sesuatu dengan polosnya.

Di antara rendahnya suhu udara, terdapat sesuatu yang nyaman dipandang.

Bulan dengan bintik merah menguasai angkasa yang berwarna biru kelam berbintik putih yang teramat jauh. Cahaya yang cantik itu menyinari kristal-kristal salju tipis yang ada bertebaran di atas dedaunan gigantic tree, berkilauan, cantik, lucu. Seperti roti kukus hijau yang ditaburi gula halus berwarna putih, gemerlap.

Senyum tipis terkembang di wajah datar Oz tanpa Eliana sadari.

Perempuan itu menatap ke sekeliling masih menikmati cantiknya langit malam. Kini ia mengerti mengapa Oz begitu mengagumi kuasa rembulan sampai rela begadang di beranda kamarnya hanya untuk menatap langit beralaskan ranjang gantung. Naungan warna hijau itu semakin indah kala kerlipan di sekelilingnya tampak jelas. Langit malam yang semakin menggelap seolah membiarkan bulan membakar malam yang dingin menjadi sepanas siang.

Saat sepasang manik Eliana menoleh ke arah tembok putih yang dua kali lebih tinggi daripada gigantic tree, bibirnya terkatup rapat seperti ingin mengatakan sesuatu yang sudah memuncak namun ia urungkan.

"High Wall," ungkap Oz saat sadar bahwa lawan bicaranya tengah memandang batas itu. "Apa yang ada di baliknya, kita tidak akan pernah tahu." Suara yang begitu tipis terbawa angin bersama sihir-sihir udara, menjelaskan gemetar tubuh Oz karenanya.

Eliana balas menatap mata Oz dalam kerlipan yang ditimbulkan kristal salju memantulkan sinar rembulan. Gadis itu membulatkan mata, memberanikan diri untuk menembus warna darah yang menjadi dasar cermin pikiran Oz. Mereka begitu dekat, sampai Eliana dapat mendengarkan sua yang ditimbulkan oleh degupan jantung Oz. Sedangkan lelaki itu tidak membalas tatapan Eliana dan malah sibuk mengagumi lukisan Tuhan yang ada di hadpaannya. Seolah-olah tidak percaya bahwa dia dibesarkan di tempat seindah ini, bukannya gurun pasir yang hanya merupakan lukisan di dinding perpustakaan kota.

Roti kukus hijau yang telah ditaburi gula, mulai berisik saat angin bertiup lebih kencang, awan-awan yang tampak dari jauh pun mulai mendekat. Feryawire seperti mengundang mereka pada pesta yang membentangkan cakrawala. Mungkin merupakan pilihan yang baik untuk tingal di sini sedikit lebih lama, setidaknya sampai langit benar-benar gelap ditutupi mega atau dimakan raksasa langit. Setidaknya Oz berpikir demikian ketika matanya sibuk menyelidik angkasa kosong tanpa ada pertarungan sengit antara dua Elvra yang menunggangi naga.

Salvator [On Hold]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن