Prolog; Napas Api

132 18 2
                                    

Genderang genta memekakan telinga yang mendadak tuli. Secercah cahaya memasuki matanya, samar-samar terdistorsi oleh warna dan bayangan asing. Sedangkan tubuhnya lemah, sedikit pun dia tak bisa bergerak.

Di tengah pepohonan yang mencakari langit dan kilat cahaya kunang-kunang, derap langkah meninggalkannya. Akan tetapi dia sudah tidak peduli. Hendak bertanya pun, lidahnya kelu. Hendak mengejar? Jangan bermimpi, kaki saja tidak bergerak apalagi sayap koyaknya.

Sang Bulan berdiri di atas segalanya menyinari hutan itu seolah menertawakan kehidupan kecil dari takhtanya yang seluas angkasa. Bintang-bintang di sekitarnya meneruskan binar-binar tipis dari benang-benang mimpi yang mungkin akan dia lupakan.

Sudahlah, hidupnya hanya sampai sini pun dia sudah bersyukur. Sudah jauh posisinya dari daerah merah. Setidaknya, dia dapat meregang nyawa jauh dari kobaran api yang memotong kampung-kampung kecil di atas padang pasir tanpa oasis.

Bukan berarti bulan telah membencinya, bukan berarti orangtuanya telah membuangnya.

Ini adalah keselamatan.

Yang selalu dia ingat. Pasti.

Lingkaran pelangi yang membias di sekeliling bulan, masih bisa memanjakan matanya. Semakin terang dia rasa, semakin jauh suara langkah meninggalkannya.

Dan pada saat dia menutup mata, kilasan bintang telah kembali pada posisinya.

Salvator [On Hold]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt