TITIK AKHIR XLIV

28.3K 4.5K 335
                                    

Doain nggak ada halangan ya, biar aku bisa up TITIK AKHIR setiap hari sampai tamat😀

Aku meringis saat melihat jarum yang digunakan untuk menjahit luka itu menembus kulit dada Bayanaka, berusaha menenutupi robekan yang terbuka. Sementara lelaki itu nyaris tak menunjukkan ekspresi nyeri, malah  menatapku dalam diam semenjak tadi. Bayanakan hanya membuka mulut saat menjawab sekenanya pertanyaan dari perawat perempuan yang sedang menjahit lukanya.

Kami sedang berada di dalam ruang gawat darurat salah satu rumah sakit swasta. Rumah sakit yang pertama kami temui saat dalam perjalanan pulang dari pantai tadi. Keceriaan yang melingkupi kami semenjak menginjak pantai berubah drastis saat aku tidak bisa mengendalikan rasa panik melihat darah yang terus mengalir dari luka Bayanaka.

Beruntung lelaki itu tetap tenang. Memberiku instruksi ringkas hingga akhirnya kami bisa berangkat pulang. Taksa kembali menjadi lebih pendiam, bocah itu tidak bertanya banyak saat akhirnya Bayanaka membawanya ke bilik basuh, sedangkan aku sendiri langsung mengangkut barang bawaan ke mobil.

Bahkan ketika aku dan Bayanaka terlibat perdebatan saat hendak pulang, tentang siapa yang sebaiknya menjadi sopir. Taksa lah yang menyela dengan sopan hingga akhirnya membuat kami menyadari bahwa berdebat dalam situasi seperti itu sangat tidak bermanfaat.

Jadi aku harus menahan geram dan khawatir saat Bayanakalah yang akhirnya mengendarai mobil, bahkan ketika baju kausnya dirembesi darah, lelaki itu tetap keras kepala dan tidak mau mengalah dengan alasan bahwa aku terlalu panik untuk bisa tenang hingga mampu membawanya dengan selamat.

"Tinggal sebentar lagi ya, Pak. Ditahan sedikit nyerinya." Aku mengerutkan kening mendengar ucapan dari salah satu perawat yang kini berdiri tak jauh dari ranjang pasien yang diduduki Bayanaka, aku sendiri duduk di bangku yang diseret dekat dengan ranjang tempat Bayanaka berada.

Bayanaka tidak tampak kesakitan dari tadi, tidak ada ringisan, atau keluhan saat jarum jahit luka itu berulang kali menembus kulitnya. Namun mengapa perawat yang satu ini, yang semenjak tadi berdiri di samping temannya itu, bertanya demikian?

Jika kuingat-ingat, perawat bernama Ririn-dilihat dari name tag-nya ini- semenjak tadi terus menerus berusaha mengobrol dengan Bayanaka, bahkan semenjak kami memasuki ruang gawat darurat. Dia terlalu cerewet ketika menghadapi pasien yang sedang kesakitan. Tunggu dulu... mengapa aku terdengar begitu sentimen pada perawat muda ini? Mungkin saja kan ini salah satu sikap yang harus ditunjukkan sebagai tenaga medis? Berusaha membuat pasien nyaman denga obrolan ringan misalnya.

"Sudah kukatakan kamu sebaiknya menunggu diluar bersama Taksa, Tuan Putri."

Aku bisa merasakan tatapan tak mengerti dari dua orang perawat itu saat mendengar ucapan Bayanaka yang masih memanggilku 'Tuan Putri' dalam kondisi seperti ini.

"Aku tidak apa-apa," jawabku singkat.

"Tapi wajahmu pucat." Bayanaka tampak tidak senang saat mengucapkan hal itu.

Memang benar, aku sebaiknya berada diluar. Namun rasa khawatir yang melingkupi berhasil membuatku bertahan di ruangan berbau obat-obatan dengan pemandangan luka Bayanaka yang cukup menyeramkan. Luka akibat goresan karang yang kemungkinan ia dapat saat berenang di area pantai yang berkarang, menyebabkan sobekan cukup dalam, bahkan sampai mengenai sedikit daging dadanya hingga membutuhkan jahitan untuk menutupinya.

"Aku tidak apa-apa."

"Kamu mengucapkan kalimat barusan berulang kali seperti robot." Kedua perawat yang menangani Bayanaka tersenyum mendengar kalimat lelaki itu, membuatku memasang wajah masam. "Jangan cemberut, aku sedang terluka."

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang