TITIK AKHIR XXIII

30K 5.1K 461
                                    

Aku berusaha memfokuskan diri pada jalanan di depanku. Mengabaikan mama yang terus berusaha memberi penjelasan tentang alasan keberadaanya di kediaman Mahawira tadi. Sungguh aku telah dengan sekuat tenaga mencoba untuk menahan diri agar tidak membentak mama, agar emosi negatif yang mungkin kukeluarkan lewat kata-kata tak sampai terlontar dan akan membuat mama terluka, yang tentu saja pasti kusesali akhirnya.

"Nak, Maafkan Mama."

Aku melirik sinis pada mama lalu beralih pada bocah yang kini terlelap di pangkuannya. Taksa tertidur tak lama setelah kami memasuki mobil untuk meninggalkan kediaman Mahawira. Di telinga bocah itu masih terpasang earphone yang terhubung dengan ponselku di genggamannya. Sudah pasti Taksa kelelahan, baik secara fisik maupun mental. Kediaman Mahawira cukup jauh dari rumahku, kami harus menempuh satu jam lebih perjalanan untuk sampai. Selain itu, tekanan yang diterima Taksa sebelum aku datang, sudah pasti mempengaruhi psikisnya sekarang.

Aku tidak paham, mengapa orang-orang dewasa cenderung menjadi tolol saat mereka dipenuhi emosi. Ingatan tentang mata berkaca-kaca dan bibir Taksa yang gemetar tadi, membuatku ingin mengumpat sejadi-jadinya. Sebagai seseorang yang berkencimpung di dunia pendidikan, ilmu yang kumiliki sudah memberikan gambaran jelas, separah apa kemungkinan kerusakan mental Taksa akibat kejadian barusan.

'Anak yang tumbuh di tengah pertengkaran, saat dewasa nanti bisa  menjadi sosok yang jauh lebih mudah membenci'

"Mama tidak pernah bermaksud untuk melibatkan Taksa."

"Apa Mama bercanda?"

"Nak-"

"Dengan membawa bocah itu ke sana, Mama bahkan sudah menyakitinya lebih dari apa yang mampu  Mama bayangkan!" Aku menutup mata sekejap sebelum kembali memfokuskan pandangan ke depan. Bisa-bisa kami mengalami kecelakaan jika aku terus meladeni mama. Aku bahkan membentaknya barusan, tindakan yang sangat kuhindari. Membentak orang tua semarah apa pun aku, tetap tidak bisa dibenarkan.

"Mama membawanya ke sana untuk memberi penjelasan pada keluarga Mahawira."

"Mama bisa ke sana tanpa membawa Taksa."

"Tapi Mama juga ingin mengenalkan Taksa pada keluarga Papa."

"Demi apa?"

"Demi?"

"Iya, demi apa Taksa harus diperkenalkan dengan keluarga Papa, Ma?"

"Itu...." Mama tak melanjutkan kalimatnya, ia tampak kehilangan kata-kata, membuatku mencengkram kemudi lebih keras.

"Biar Hira bantu jawab. Mama melakukan itu untuk memuaskan ego Mama agar bisa menuntaskan balas dendam yang menjadi tujuan Mama selama ini. Keberadaan Taksa di sana, sebagai piala kemenangan Mama yang telah berhasil mempermalukan kekuarga Mahawira yang sangat menjaga nama baiknya itu!"

"Bukan begitu, Nak."

"Memang begitu Mama, itulah tujuan Mama menyeret anak lima tahun yang baru kehilangan papanya dan Ibu yang sedang terbaring di rumah sakit, dan apa perlu Hira tambahkan antara hidup dan mati?" Tangis mama pecah mendengar kecamanku, tapi aku masih jauh dari kata selesai. "Tapi tidakkah Mama pernah berpikir bahwa itu sangat memukul Taksa? Dia tidak mengerti tentang dendam, Mama. Dia tidak mengerti tentang rasa sakit yang sedang Mama coba untuk balas pada keluaraga Papa. Bahkan mungkin di matanya Mama adalah penolong di saat tak satu pun antara orang tuanya bisa berada di sisi Taksa. Tapi tega-teganya Mama melakukan hal itu!"

"Nak,"

"Hira belum selesai, Mama. Belum."  Aku mengabaikan isakan mama yang terdengar semakin menyayat. Untuk kali ini saja, Tuhan. Aku ingin berlaku kejam. "Dan itu baru dari sudut pandang Taksa. Apa tak pernah sekalipun Mama berpikir tentang perasaan Hira?"

Titik AkhirWhere stories live. Discover now