TITIK AKHIR IX

31.5K 5.1K 364
                                    

Aku tidak melihat Bayanaka keesokan paginya, begitupun tiga hari berikutnya. Hanya ada mama dan Taksa yang mengisi meja makan untuk sarapan, bersama Bi Maryam yang selalu sibuk menyiapkan segala sesuatu di dapur.

Sama seperti hari-hari yang lalu setelah pertengkaran dan mama, pagi ini pun aku memutuskan untuk tidak mengisi perut di rumah sebelum berangkat mengajar. Benar, aku berusaha mengindari mama. Suara isakannya setelah pertengkaran kemarin, terekam amat jelas di kepalaku. Mebuat rasa bersalah bercampur amarah membara di dadaku.

Oh, jangan lupakan ekspresi sayu mama dengan mata sembabnya beberapa hari ini. Aku tahu mama tidak cukup tidur dan memilih menangis sepanjang malam, setelah lontaran kalimat 'pedas' dariku. Padahal dulu, mama adalah pribadi periang, bahkan diumurnya yang telah melewati angka lima puluh, masih sering bersikap manja pada papa.

Bibirku mengukir senyum perih saat ingatan tentang bagaimana papa akan sangat khawatir jika mama terlihat murung, dulu. Benar, di mataku selaku anak, mama adalah pusat dunia papa. Tidak ada satu pun keinginan mama yang tidak berusaha dipenuhi papa. Papa bahkan langsung menghapus salah satu channel di televisi kami, saat menemukan mama menangis sesenggukan hanya karena menonton sinetron. Iya, papa se-protektif itu pada mama.

Aku pun tak bisa lupa, ketika kakek meminta papa untuk mencari istri baru, mengingat mama yang tidak bisa mengandung lagi. Sedangkan papa adalah satu-satunya anak lelaki milik kakek, diharuskan untuk bisa meneruskan nama keluarga dengan memberi keturunan lelaki juga. Papa dengan sangat keras menolak ide itu, bahkan papa menantang kakek untuk mencoret namanya dari daftar keluarga, jika terus memaksa papa menduakan mama. Jadi ketika aku menemukan bahwa ada wanita lain di hidup papa, itu seperti sebuah lelucon mengerikan yang tiba-tiba menjadi kenyataan.

Aku membuang nafas, memilih mencakol tas kerjaku di pundak, berharap bisa segera keluar dari rumah ini. Aku sudah terlalu lelah menghadapi segalanya. Bahkan berpura-pura jahat pun ternyata melelahkan.

"Kak Hira, tunggu Aksa!" Langkahku otomatis terhenti, saat seruan nyaring yang berasal dari ruang makan itu terdengar. Suara langkah kecil yang tergesa, membuatku mengulum bibir tanpa sadar. Aku gugup dan marah akan kegugupan ini.

Di depanku sekarang berdiri Taksa, dengan wajah mendongak dan mata berbinar menatapku. Ia mengulurkan sebuah kotak bekal berwarna biru, bergambar karakter robot yang sering di bicarakan murid laki-laki di sekolahku.

"Ini roti bakar. Bi Maryam yang buat, bukan Tante Amira." Aku masih memandang lurus Taksa yang meraih tanganku dan meletakkan kotak bekal itu di sana. "Kakak nggak pernah sarapan lagi di rumah, jadi Aksa minta Bi Maryam buatin bekal. Roti aja, nasi bisa dingin ntar, nggak enak di makan."

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Hanya mengenggam kota yang diberikan Taksa dengan lebih erat.

"Kotak bekalnya taruh di tas Kak Hira, ya? Biar nggak jatuh," ucapnya lagi dengan wajah serius. "Oh iya, jangan di taruh sembarangan kalo isinya udah habis. Di bawa pulang biar bisa dipake lagi nanti." Aku mengerjap beberapa beberapa kali, berusaha mencerna semua yang dikatakan Taksa. Ya Tuhan... benarkah yang sedang menceramahiku ini Taksa? Bocah pendiam yang lebih suka menyendiri? Bocah yang lebih muda sembilan belas tahun dariku?

Dengan kaku, aku menganggukan kepala. Memilih tidak memperpanjang interaksi ini dengan Taksa.

"Yaudah, Taksa balik maem sama Tante Amira. Kakak hati-hati ya." Taksa lantas meninggalkanku, ia berjalan penuh semangat ke arah ruang makan.

Aku baru hendak melangkah saat Taksa tiba-tiba kembali berseru dari meja makan, di mana mama kini menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. "Kakak... itu kotak bekal kesayangan Aksa. Dibelikan kak Naka pas Aksa ulang tahun ke empat. Cuma kak Hira yang Aksa kasi pake kotak bekal Aksa loh."

Titik AkhirWhere stories live. Discover now