TITIK AKHIR VIII

30.9K 5.2K 323
                                    

Aku berjalan dengan gontai memasuki rumah, setelah seharian mendekam di rumah Rahayu, sepulang sekolah tadi. Ini pertama kalinya aku pulang terlambat, pukul tujuh malam. Memang aku sempat mengirimkan pesan teks melalui ponsel untuk mama, agar ia tidak khawatir. Namun melakukan sesuatu yang tidak biasa, tetap saja membuatku merasa sedikit 'aneh'.

Rumah tampak lenggang, seolah tidak ada kehidupan di dalamnya, jika saja aku tidak mendengar suara televisi dari ruang keluarga. Suara yang terdengar terlalu keras. Tadi, bi Maryam-lah yang membuka pintu untukku dan saat ia memberitahu bahwa Bayanaka tidak ada di rumah, entah mengapa ada rasa lega menyelusup di dadaku. Tentu saja bukan karena aku takut, setelah mengabaikan 'titahnya' yang ingin menjemputku sepulang sekolah. Hanya saja, aku benar-benar tidak ingin berhadapan dengan lelaki itu sekarang. Ketika perasaanku sedang kacau balau.

Harusnya aku tetap melangkah menaiki tangga menuju kamar,  tetap berpura-pura tidak melihat. Bukan malah terpaku saat menyaksikan mama, memandang kosong layar televisi di depannya. Pandanganku turun ke arah tangan mama yang kini membelai lembut kepala bocah yang tengah terlelap di pangkuannya, Taksa. Membuat rasa pedih yang berusaha kuredam sejak pagi, menyeruak tak terkendali. Ini ironi. Mama bahkan memberikan pangkuannya sebagai alas kepala Taksa. Bagaimana bisa ia tetap bersikap begitu penuh kasih, pada bocah yang merupakan bukti nyata terbaginya cinta sang suami?

Dengan derap langkah keras, aku berjalan ke tempat Mama. Lalu berhenti beberapa langkah dari sofa yang ia duduki. "Ini mankjubkan! Hira tidak pernah menyangka bahwa Mama,  senang menyiksa diri." Ucapan sinisku yang tiba-tiba, menyentak mama. Bagus sekali! Akhirnya ia kembali ke dunia nyata.

"Sudah pulang sayang?" Respon mama tidak membuatku puas. Terlalu jelas usahanya untuk mengalihkan ketegangan yang kumuntahkan.

"Sudah dari beberapa menit yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk bisa melihat, bahwa usaha Mama untuk membohongi diri, sia-sia belaka."

"Hira sudah makan? Atau mau langsung istirahat di kamar?" ujar mama dengan suara lirih, malah membuatku semakin sakit hati.

"Mama akan tetap pura-pura bodoh bukan?!" suaraku meninggi. Emosi yang bergolak membuatku kuwalahan. Namun, mama di tempatnya, hanya menyorotku hampa.

"Hari ini Bayanaka ke rumah sakit setelah semalam ia menerima kabar dari sana, kondisi bundanya menurun drastis." Untuk beberapa saat aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Mataku masih terfokus pada tangan mama, yang kini berhenti membelai rambut Taksa. "Bundanya hampir tidak memiliki harapan hidup. Ia masih bertahan karena perlatan medis yang terpasang di tubuhnya."

"Lalu apa aku harus peduli? Atau malah Mama berharap aku bisa bersimpati?!" seruku penuh rasa muak, melihat mama yang masih saja mempedulikan wanita jahat itu. Untuk beberapa detik kilat asing hinggap di mata mama, sebelum sebuh senyum kaku terbentuk separuh di bibirnya.

"Dia adalah bunda dari adik----"

"Persetan!" Aku memotong ucapan mama dengan tandas. Napasku memburu karena sesak luar biasa. Ya Tuhan! Ini mengerikan, bisakah mamaku berhenti memainkan peran wanita mulia itu?

Mata mama berkaca-kaca. Mungkin kecewa menerima fakta, bahwa putri tunggal yang ia besarkan dengan penuh cinta, dididik dengan ajaran kebaikan, kini berubah menjadi sosok kasar yang sangat tidak terpuji. Rasa bersalah menelusup di hatiku. Aku selalu benci ikut melukai mama. Hanya saja hatiku juga berdarah, dan sikap mama semakin membuat perihnya bertambah.

Cukup lama kami saling bersitatap. Bibir mama terkatup rapat. Hanya sorot matanya yang menggambarkan bahwa mama juga kelelahan. Kenapa ia harus tetap membohongi dirinya sendiri?

"Hira menyerah, Ma. Sekeras apa pun Hira meminta agar Mama jujur pada diri sendiri, percuma." Aku mundur, kemudian berbalik meninggalkan tempat mama. Namun dua langkah setelahnya, aku memutuskan berhenti, menghela napas dalam sebelum berucap dengan pelan, "taukah Mama apa yang paling menyakitkan bagi seorang anak? Ketika melihat Ibu mereka terluka tapi tak bisa melakukan apa-apa, bahkan hanya sekedar menjadi tempat untuk bercerita, membagi duka bersama."

Titik AkhirWhere stories live. Discover now