1.5 || Cerita

2.1K 204 19
                                    

Senja terdiam setelah Fana mengatakan itu.

Percayalah, Senja tetap merasa jantungnya berdetak cepat ketika Fana mendekapnya secara tiba-tiba seperti tadi. Meskipun sudah pernah, tetap saja, Senja merasa detak jantungnya tidak stabil.

"Pokoknya sama gue terus ya? Apapun itu yang terjadi... jangan sampai lo pergi dari gue. Gue juga janji akan selalu sama lo."

"Ih kok auranya malah posesif."

"Ya gue emang begini, Senja. Lo harus mulai terbiasa. Kan nanti bakalan jadi pacar."

"Pede banget. Emangnya yakin kalo gue bakalan nerima?" tanya Senja sambil berusaha mendongakkan kepalanya sedikit.

Fana melonggarkan pelukannya itu lalu menyentuh bahu Senja. Sebelum Fana sempat berucap, tangan Senja sudah terulur untuk mengusap cairan bening yang mengalir di ujung mata Fana.

"Jangan bahas itu dulu. Lo kenapa sebenernya? Kenapa nangis?"

Fana masih terdiam. Ia tidak berani menceritakan kepada Senja, tidak semua yang ada pada dirinya perlu diceritakan kepada orang lain. Sekalipun itu Senja.

Seolah tahu isi pikiran Fana, Senja berkata, "Kalo lo juga belum siap, ya nggak apa-apa. Lo juga gak maksa gue kok."

Fana mengembuskan napas. "Bunda sakit. Gangguan memori."

Gadis di depannya itu langsung membulatkan mata. "Gangguan memori? Gangguan di mana seseorang sulit mengingat tentang apa yang dia alami? Mirip amnesia?"

Fana mengangguk. "Nja, gue gak mau Bunda sakit. Gue mau Bunda sehat." Fana kembali memeluk Senja. Sementara gadis itu, ia mengerti perasaan Fana, karena papanya juga mengalami hal yang sama.

Gangguan memori. Papanya juga terkena penyakit itu. Sudah setahun belakangan ini dan Senja selalu berusaha membuat papanya mengingat apapun tentang hidupnya.

"Senja, Bunda gak bakalan lupain kenangan sama gue, kan?"

"Enggak. Jangan khawatir. Bunda gak bakalan kenapa-kenapa," jawab Senja sambil berusaha menenangkan Fana dengan mengusap punggungnya.

"Lo tau? Gak banyak orang yang bisa kena gangguan memori, mereka yang kena hanyalah orang yang terlalu berusaha ingin melupakan masa lalu yang terlalu suram. Saking pinginnya mereka lupa, mereka gak sadar, kalau di masa lalu itu masih ada kenangan indah."

"Itu yang buat orang bisa kena gangguan memori, Fana."

"Jadi, lo sekarang cuma perlu jagain Bunda. Jangan sampe Bunda ngelakuin hal aneh ataupun hal yang buat dia keliatan marah."

"Ngerti?"

Setelah mendengar kalimat terakhir dari Senja, lelaki itu merasa lebih baik. Ia tahu kalau gadis itu memang tepat dijadikan tempatnya bersandar. Apapun yang diucapkan gadis itu, selalu bisa membuat hati Fana terasa lebih tenang.

Lalu Fana mengangguk. "Iya. Gue ngerti. Makasih, Nja. Lo selalu tau gue. Makasih udah jadi tempat gue untuk pulang."

Senja tersenyum. Baiklah. Ia tidak perlu membandingkan antara Fana dan Regha. Keduanya memiliki cara yang berbeda untuk mengungkapkan perasaan.

"Mau masuk dulu? Atau mau langsung temuin Bunda?" tanya Senja, ia sudah melepaskan pelukan Fana itu. Meskipun sebenarnya ia tidak mau.

"Mau diem di sini. Nemenin lo sebentar sampe Papa balik."

Senja mengangguk. Di dalam keadaan seperti ini, Fana pasti lelah, Fana pasti masih ingin berusaha melupakan hal itu. Senja mengerti itu.

Tapi satu yang tidak Senja mengerti. Jantungnya. Jantungnya masih berdetak sangat cepat! Padahal ia sudah tidak berpelukan dan Fana juga sudah berada di dalam ruang tamunya, sementara ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil selimut.

Ruang Rindu [Completed]Where stories live. Discover now