SEPULUH

15.8K 1K 34
                                    

Naya dan juga supir pribadinya, Pak Sapri, sudah berada di bandara. Mereka baru memarkirkan mobil dan tengah berjalan ke tempat tunggu. Masih ada delapan jam lagi atau bahkan lebih untuk pesawat yang ditumpangi Mamanya mendarat.

Dia dan Pak Sapri memang datang terlalu awal, Naya tidak menyesali itu. Baginya tidak masalah harus menunggu lama daripada menyaksikan kemesraan sang sahabat dengan pacar barunya, yang bahkan membuatnya tersisihkan.

"Non, tapi saya baca papan pengumuman di depan, pesawat yang mengangkut penumpang dari Amerika bakal mendarat jam sembilan nanti, dan sekarang masih jam satu lebih sebelas menit, masih lama itu Non. Apa Non dan saya datangnya kecepetan?" tanya Pak Sapri yang berjalan tergopoh mengekori Naya. Naya memberhentikan langkahnya, lantas membalikkan badan menatap Pak Sapri.

"Iya Pak, kita emang kecepetan." Naya menghentikan ucapannya, matanya memandang ke sekeliling di mana banyak orang yang berlalu lalang. Tapi nggak pa-pa deh. Oiya, kalau Bapak mau cari makan silakan. Nanti saya susul dan saya bayari semuanya," kata Naya. Mata Pak Sapri seketika berbinar.

"Siap Non, kalau begitu saya permisi. Nanti saya telepon kalau ada perlu," balas Pak Sapri yang hanya ditanggapi oleh senyum lebar Naya yang tampak manis itu.

Sepeninggalan Pak Sapri, Naya menghela napasnya dengan berat, senyum yang tadinya tampak nangkring manis di wajah cewek itu mendadak luntur, bergantikan dengan dua sudut bibirnya yang tertarik ke bawah. Wajah cantik Naya yang tampak sendu mungkin tidak terlihat menyedihkan jika dilihat sekilas, namun jika diperhatikan melalui mata cewek itu pasti semua orang akan mendapatkan jawaban yang sama.

Kosong, tanpa harapan, tanpa angan, kerapuhan, kesedihan, dan keenggan hidup.

Semua itu dapat dilihat dengan jelas. Namun anehnya, binar itu seketika menghilang ketika Naya tersenyum. Sangat aneh, bahkan senyum Naya pun terlihat seperti sebuah senyuman kebahagiaan yang tidak mengatas-namakan kesedihan di dalamnya. Orang-orang tidak akan tahu bahwa Naya tengah mengalami masa-masa yang sulit sekarang ini.

Kembali melangkahkan kakinya, Naya berjalan menuju kursi kosong yang berjarak sekitar sepuluh meter dari dirinya. Naya membatin, delapan jam bukanlah waktu yang lama. Jika ia lapar, ia bisa menyusul Pak Sapri nanti. Bukan masalah besar, bukan?

***

Tidak terasa sudah delapan jam berlalu. Terdengar suara dari speaker bahwa pesawat yang sesuai dengan nomor penerbangan Mamanya akan mendarat. Naya baru saja dari tempat makan, mengisi perutnya yang sudah keroncongan karena sejak siang tidak diisinya. Tadi siang cewek itu hanya membayari makanan Pak Sapri tanpa berniat mengisi perutnya sendiri.

"Non, kita tunggu Nyonya Besarnya di mana?" tanya Pak Sapri yang kini berjalan di sisi Naya. Naya menolehkan kepalanya.

"Di dekat pintu keluarnya aja Pak, biar pas Mama keluar kita langsung ketemu Mama." Pak Sapri mengangguk.

Mereka kembali berjalan hingga sampai di tempat yang mereka tuju. Terdengar pengumuman dengan rute penerbangan Amerika-Indonesia telah mendarat dengan sempurna. Naya mengulas seutas senyum, kurang lebih lima menit dari sekarang ia akan bertemu dengan orang yang sangat dirindukannya. Meski Papanya belum bisa pulang karena pekerjaannya, tapi Naya bersyukur, setidaknya Naya bisa bertemu dengan orang yang telah melahirkannya.

Lima menit terasa sangat lama bagi Naya, senyum cerianya masih mengembang. Terlihat begitu antusias dengan kedatangan sang Mama. Pak Sapri yang diam-diam memperhatikan ikut tersenyum, beliau tahu bagaimana perasaan anak majikannya tersebut. Meski ia tak memiliki hubungan apa pun---selain supir dan majikan---dengan Naya, tapi ia mengerti bagaimana perasaan seorang anak yang lama tak berjumpa dengan ibunya.

Mata Naya semakin berbinar ketika menangkap bayangan wanita dengan penampilam supermencolok. Kacamata hitam yang tersemat di atas kepala, atasan blouse berwarna abu-abu dengan garis-garis berwarna emas di sisinya, serta rok span sepanjang lutut yang membalut tubuh indah Mama Kanaya Sarasvati tersebut. Tangan kanannya tampak menenteng tas branded merek terkenal, sementara tangan kirinya tampak menggeret koper hitam berukuran sedang. Meski Naya tak dapat melihat senyum di wajah Mamanya, namun Naya bersyukur dirinya masih diperlihatkan wajah sang Mama, dan Mamanya tampak sehat tanpa kurang suatu apa pun.

"Mama, kangen!!" Naya segera berhambur, berniat memeluk Mamanya itu.

Tidak ada rentangan tangan, karena selanjutnya yang terjadi, bukannya memeluk tubuh sang Mama, Naya malah memeluk tas branded yang wanita paruh baya bersatus Mamanya itu lemparkan beberapa detik yang lalu.

"Kamu bawain tas Mama. Mama capek."

Hanya itu yang Mama Naya ucapkan, tidak ada niatan untuk memeluk Naya. Jangankan memeluk, membalas ucapan rindu Naya saja, wanita itu tidak. Mamanya sudah berjalan melewati Naya, Naya tampak tersenyum miris. Cewek itu mengeratkan pelukannya pada tas Mamanya. Meski dirinya tak bisa memeluk sang Mama, ia masih bisa menghidu aroma tubuh Mamanya dari tas itu.

"Pak, ini kopernya. Bawakan!" Mama Naya menyerahkan kopernya pada Pak Sapri, Pak Sapri menerima koper itu seraya menundukkan kepalanya dengan sopan.

"Baik Nyonya."

Dan Mama Naya pun berjalan lebih dulu, Naya masih terdiam di tempatnya. Mati-matian ia berusaha menahan air mata yang serasa mendesak ingin meluncur ria di pipinya. Hatinya terasa jauh lebih sakit jika dibanding dengan apa yang ia rasakan tadi siang.

Menghapus bening air yang siap meluncur itu, Naya mengulas seutas senyum. Senyum ceria seolah-olah dirinya tidak masalah mendapat perlakuan demikian dari Mamanya.

"Non Naya tidak apa-apa?" tanya Pak Sapri pelan, takut melukai anak majikannya tersebut. Naya terkekeh.

"Naya baik Pak. Baik banget malah, masa ketemu Mama Naya malah sedih. Nggak mungkin, kan?" Kekehan Naya berubah menjadi tawa riang.

Pak Sapri mengerutkan keningnya, ia tidak melihat ada guratan kesedihan di wajah Naya. Beliau mengangguk, meski perasaannya masih merasa tidak tenang.

"Ya udah Pak, ayo jalan. Nanti Mama marah-marah loh, kan kasihan Bapaknya kena sembur Mama," kata Naya yang sudah berjalan lebih dulu.

"Eh iya Non," katanya kikuk yang kemudian segera melangkahkan kakinya mengikuti Naya.

TBC

Future BoyfriendWhere stories live. Discover now