Chapter 13: Rehabilitasi

54 1 0
                                    

"Fokus UN. Nanti kita masuk Unair bareng." Ucap Adrian setiap kali aku mulai pasang mode melow yellow drama mengingat Rades.

Ah ya, Papa tidak akan mengampuniku jika nilai UN-ku dibawah tujuh. Lebih-lebih jika aku gagal masuk PTN. Tapi bagaimana bisa aku belajar jika dalam pikiranku ada Rades yang berkelebat seperti hantu?

"Buktikan bahwa kamu bisa berhasil tanpa Rades." Sahut Adrian lagi.

Ah ya, aku tidak boleh gagal. Rades harus melihat bahwa aku bukanlah gadis lemah yang terpuruk hanya karena ia putusin. Memang dia siapa yang seenaknya menentukan batas kegagalan dan sakit hatiku.

Mulailah fase tirakatku. Setiap hari hanya berkutat dengan buku tebal penuh dengan latihan soal UN atau sesekali diselingi membaca novel jika sedang jenuh. Sudah macam Radit saja aku ini mendadak jadi kutu buku. Ah ya, Radit sedang apa ya sekarang? Tanpa sadar aku mengambil ponsel hendak menelfon Radit. Belum berdering, aku langsung mematikannya. Aduh! Apa sih yang sedang aku fikirkan? Fokus, Prinsa. Enyahkan Rades ataupun Radit dari pikiranmu. Ngapain mikirin cowok melulu sih. Masa depanmu sedang dipertaruhkan dalam seminggu lagi.

UN tiba. Empat hari yang menguras tenaga dan pikiran. Tapi aku lumayan puas dengan jawaban-jawabanku. Nilai tujuh aku yakin bisa melampauinya. Unair semakin di depan mata. Adrian mengajakku ke bioskop selepas hari terakhir ujian.

"Ngerti aja kamu, Yan. Kamu yang traktir ya..." Timpalku riang merespon ajakannya yang tanpa berfikir panjang aku iyakan.

Sesampainya di Mall, aku baru faham ternyata Adrian punya niat licik. Dia mengajakku hanya hendak dijadikan nyamuk. Ternyata dia janjian dengan Dhea, cewek sekolah lain yang sedang dikencaninya. Ah, nasib.

"Tenang saja, Dhea bawa sepupunya kok. Dia ganteng. Siapa tahu jodoh." Timpal Adrian.

"Kencan ya kencan aja, ngapain bawa masa. Mau demo apa?" Protesku yang berujung tawa dari Adrian.

Dhea dan sepupunya datang. Adrian sama sumringahnya dengan Dhea yang sedang dimabuk asmara. Aku dan Andra, sepupu Dhea, hanya diam kikuk. Andra adalah mahasiswa semester empat jurusan sastra jepang, gaya berpakaiannyapun mirip-mirip gaya harajuku, tapi menurutku sih agak berlebihan, ujung rambutnya disemir hijau tosca, jaketnya tak ketemu model bagaimana, celana jins-nya bolong-bolong, sepatu bootnya warna beige, dan yang paling mencolok adalah jam tangannya berwarna merah menyala membuatku semakin tak nyaman tiap memandangi Andra yang satu ini. Beberapa kali Andra mencoba memilih topik pembicaraan, tapi selalu mentah dengan diamku. Entahlah, aku merasa tidak nyaman. Adrian yang mengerti dengan mode raut wajahku yang sudah kusut, ditekuk dan nggak enak dipandang itu, megerti bahwa aku harus segera dipulangkan sebelum keadaan menjadi lebih serius.

"Andra kurang menarik apa?" Tanya Adrian diperjalanan pulang.

"Terlalu menarik alias mencolok gaya pakaiannya." Jawabku jengkel. Adrian nyengir dan akupun ikut nyengir. Ah, betapa bersyukurnya aku memiliki sahabat seperti Adrian yang selalu paham raut muka dan perasaanku, seolah ia punya kekuatan supernatural yang bisa mejangkau perasaan orang lain dengan menilik jauh ke dalam hati siapapun.

Bulan-bulan sibuk menyiapkan diri menuju ujian masuk perguruan tinggi membuatku benar-benar lupa pada Rades ataupun Radit yang entah bagaimana Radit sudah tidak pernah lagi tiba-tibaa muncul di depan rumah atau di kelasku. Ia lebih sibuk dariku dalam menyiapkan diri. Kudengar ia ingin masuk UI atau ITB.

Pagi-pagi sekali Adrian ke rumah membawa koran yang berisi pengumuman SBMPTN. Dengan sumringah dibumbui harapan yang membuncah, kami berharap ada nama kami tercantum dalam tulisan kecil-kecil itu.

"Yeees....." Adrian berteriak melengking menyaksikan namanya ada diantara tulisan kecil-kecil itu. Aku kian resah karena tak kunjung menemukan namaku.

Trouble Maker (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang