4. | you could break my heart in two. but when it heals, it beats for you

Mulai dari awal
                                    

"I am the best spy in the world. Jadi aku juga pasti jago jaga rahasia. Ssst..." Aku menempelkan jari telunjuk di depan bibir, lalu menoleh ke kiri-kanan yang memang tidak ada siapa pun. "Jangan bilang siapa-siapa ya."

Uda ketawa pelan.

Aku ikut tersenyum.

"Kami dulu dikenal sebagai cowok paling berengsek tapi bikin sayang."

"Hueeeeek!"

"Eh serius lho. Mau lanjut enggak?"

"Okay okay okay!" Aku menumpukan tangan kiri untuk menyangga kepala dan mencoba fokus meski ingin banget tertawa. "Lanjutin, Uda."

"Kamu jelas tahu ya, kenapa kami bisa terkenal dulu di sekolah. Sejak SMA, kita itu udah nggak pisah, kecuali mereka lulus dan lanjut kuliah, Uda masih di SMA, teru Uda nyusul deh ke kampus mereka. Gampang banget semuanya kalau ada Dhana. Mas Dhana maksudnya bukan dana uang."

Aku nyengir. Geli banget membayangkan mereka jadi preman kampus dengan muka-mukanya yang begitu.

"Enggak tahu gimana, memang katanya alam itu selalu mempertemukan teman-teman yang satu visi dan misi, begitu pun kami. Kamu boleh lihat Uda sekarang baik dan kalem kan katamu? Dulu Uda cemburuan sampai nggak tahu akal sehat lagi, La. Sekarang juga kadang. Pacar Uda nggak bales chat berapa menit sementara Uda lagi nunggu balasan, jangan ada ampun deh."

Ya Tuhan.

Aku mulai kehilangan cengiran di wajah dan langsung duduk tegak, memerhatikannya dengan serius.

"Dia izin ngerjain tugas, Uda yang harus anter. Dia mau nginep di rumah temen, Uda nggak pernah kasih izin. Diboncengin cowok, jangan mimpi si cowok bakalan kuliah dengan tenang setelahnya."

Ya Rabb.
Aku menelan ludah.

"Terus kalau kang Denny. Dia yang dengan caranya sendiri. Setiap tahu ceweknya ketawa sama cowok lain, langsung disamperin dan dihajar tuh cowok detik itu juga. Kang Denny sukanya main fisik, meski sama ceweknya juga. Tapi dia yang paling mudah luluh juga."

Ya Allah.
Menelan ludah, lagi.

"Kalau bang Alan, dia ini kan yang nggak terlalu suka ngomong banyak kalau dia memang nggak mau, bukan karena pendiam, tapi nggak tahu orang nggak penting satu itu." Dia ketawa lagi, sementata aku kehilangan semua saraf-saraf lucu di kepala. "Kalau ceweknya nggak bisa diomongin, termasuk nggak angkat telepon pas dia pengin nelepon, langsung diputusin, La. Tapi, jangan harap setelahnya si cewek bisa move on, enggak. Diajak balikan enggak, tapi dibiarin sama cowok lain juga enggak. Abangnya mah enjoy, cewek banyak."

Ya Rahman.
Ludahku sudah mulai kering.

Kebayang bagaimana mereka bertiga bertingkah semenyebalkan itu. Anehnya, bagaimana mungkin ada para cewek bodoh yang mau diperlakukan seperti itu?

Eh, okay, sorry, kayaknya aku salah ngomong.

"Nah terakhir nih, si ketua dari segalanya ketua. Mas Dhana. Karena dia anak uang, yang bahkan napasnya aja bau duit seratus ribu baru cetak itu, dia paling gampang banget buat bertindak. Apa yang kami lakukan di kampus, mulus aja selalu. Tapi, La, kalau berengseknya kami bertiga tadi adalah dengan sok menghakmiliki para kekasih, beda lagi sama mas Dhana. Kalau mau ngapa-ngapain, ceweknya yang minta."

Ya Karim.
Aku sudah memproduksi ludah lagi buat cerita kelanjutannya.

"Ceweknya minta jalan, dia males. Ceweknya ngajak nonton dia males. Ceweknya kangen, harus ceweknya yang nyusulin kita ke kantin. Nah, nanti, giliran mungkin ceweknya banyak dukungan dan suruh balas dendam, gampang aja, kita tinggal samperin ke kerumunan para gadis itu, lalu mas Dhana cuma mendekat dan bilang, misalnya namanya 'La' ya... 'La, pulang' atau 'La, ikut aku' atau 'La, makan'. Nurut lagi tuh ceweknya."

 [ NOVEL ] setelah dapat kerja, lalu apa? ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang