Menyambut Ramadan di Kota Ankara

143 16 4
                                    

“Marhaban ya Ramadan!”

***

Ramadan kali ini sangat jauh berbeda dengan Ramadan tahun lalu bagi Zaidan. Tahun lalu ia berkumpul bersama keluarganya dan juga … orang yang berhasil merebuat hatinya kala itu. Tapi kali ini, ia jauh di negara orang seorang diri. Tanpa ada orang tua dan tanpa ada pengisi hati seperti kala ia masih menggali ilmu S1-nya.

Sehari sebelum menyambut malam pertama Ramadan, Zaidan sempat mengunjungi dua makam sahabatnya semasa ia kuliah di Ankara dulu. Segala akses internet sengaja ia matikan untuk membenamkan diri di makam sahabatnya untuk merasakan kebersamaan. Dulu, mereka selalu bertiga ke mana saja. Mulai dari kuliah, salat, bahkan seluruh waktu mereka dihabsikan bersama. Tidak ada waktu yang memisahkan mereka sampai maut memisahkan mereka dan Zaidan kembali ke Indonesia. Kedatangan Zaidan ke dua makam tersebut untuk berziarah serta mengenang masa lalu mereka. Dan Zaidan sengaja tidak mengekspos aktivitasnya itu agar semua doanya dijabah Allah dengan cara ia tak mengumbarnya.

Malam ini, malam Ramadan pertama, Zaidan masuk ke sebuah masjid yang dulunya tempat ia dan kedua sahabatnya melaksanakan salat tarawih bersama di malam pertama Ramadan. Ia teringat malam terakhir mereka melaksanakan tarawih bersama. Saat itu Zaidan diminta untuk menjadi imam. Begitu mereka selesai salat, sahabatnya yang satu pergi untuk selama-lamanya. Tak lama, yang satunya yang meninggal akibat kecelakaan di depan matanya. Mengingat hal itu membuat Zaidan sedih dan merindukan kedua sahabatnya.

Azan berkumandang dengan indah pertanda waktu Isya sudah tiba. Zaidan mendengar lantunan azan yang merdu membuat ia semakin rindu dengan sahabat-sahabatnya yang sering menjadi tukang azab di masjid ini. Jika ia berkunjung ke Ankara, ia memanfaatkan masjid ini untuk melepaskan rindu terhadap kedua sahabatnya. Rumah yang dulu ditempati oleh salah satu sahabatnya sudah ditempati oleh orang lain. Sedangkan yang satunya lagi kala itu berasrama bersama dengannya. Hanya masjid inilah satu-satunya tempat yang bisa menjadi rumah ia berpulang jika ia di Ankara.

Imam masjid tersebut sudah amat mengenal Zaidan sejak pria itu diajak ke tempat tersebut oleh Ikram—salah satu sahabat Zaidan yang telah meninggal dan asli Ankara. Begitu melihat Zaidan duduk menunduk sambil menyesapi alunan suara azan di barisan saf pertama, ustadz itu datang dan menegur Zaidan dengan lembut.

Assalamualaikum!” sapa imam masjid yang dikenalnya dengan panggilan ustadz Iqbal.

Waalaikumsalam, Mr.!” balas Zaidan sambil mencium punggung tangan ustadz Iqbal.

Nasɩlsɩn?*

Alhamdulillah. Ben iyiyim*, Ustadz,” jawab Zaidan menunjukkan keadaannya yang memang fisiknya sedang baik-baik saja. Berbeda dengan keadaan hatinya saat ini. “Ustadz sendiri apa kabar?” tanya Zaidan masih dalam bahasa Turki.

“Alhamdulillah, saya baik-baik saja seperti yang kamu lihat saat ini,” sahut ustadz Iqbal dengan kekehan renyahnya. “Kamu imamkan salat malam ini!” perintahnya dengan penekanan yang menuntut Zaidan untuk melaksanakannya dengan segera.

Hal tersebut sering diperintahkan ustadz Iqbal kala menemui sosok Zaidan di masjid tersebut. Tanpa sungkan, Zaidan langsung mengangguk dengan mantap pertanda ia setuju diperintahkan demikian. Dengan amat senang hati, Zaidan menerima dan melaksanakan perintah tersebut.

Kini, Zaidan telah berdiri di saf iman dengan tegap. Seluruh umat muslim yang ada di masjid tersebut langsung berdiri dan merapatkan diri serta meluruskan saf. Zaidan memimpin salat Isya dengan amat lancar. Dalam sujudnya ia berdoa agar salat Isya dan tarawihnya nanti diterima oleh Allah.

Malam Lailatul Qadar (Series Ramadan) [Terbit]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ