Mommy menggeleng maklum, sudah tak heran melihat kelakuan random Nino yang muncul tiap bermasalah dengan Airin. Wanita paruh baya itu berdiri lalu membuang sampah-sampah yang tadi dikumpulkannya ke tempat sampah di sudut kamar Nino.

"Kalo nggak tau, tanya langsung ke orangnya."

Nino termenung mendengarnya. Betul juga, kenapa ia tidak kepikiran sampai sana?

"Oh iya," dan sebelum Mommy keluar, ia berhenti di ambang pintu, menatap lagi anak laki-lakinya yang masih enggan beranjak, "sekalian bawa jam tangan Airin yang ketinggalan di laci tengah."

"Lho, kapan Airin ke rumah?" Nino menoleh merasa tertarik dengan perintah Mommy-nya.

"Waktu itu... waktu kamu main ke puncak sama Airin. Katanya kamu ada kelas pagi, makanya dia yang anterin baju kotor kamu. Terus dia numpang ke kamar mandi, tapi jamnya malah ketinggalan." jelas Mommy membuat kening Nino perlahan berkerut.

Puncak? Baju kotor? Sepertinya dua hal itu terlalu asing di memori otak Nino. Sejak kapan Airin mau diajak muncak? Diminta temenin ke arena balap aja, Airin sering ngeluh. Dingin katanya. Sampai sebuah suara terngiang di telinganya.

"Masnya nggak inget? Padahal pacar Mas yang bawa kemari. Bahkan dia sendiri yang urus Mas pas Masnya muntah...."

Lalu tiba-tiba Nino berdiri tegak, seketika ia langsung bergegas memakai jaket dan meraih kunci motornya.



****



"Bunda masak apa hari ini?"

Bunda tersentak begitu tangan lentik Airin melingkar di pinggangnya, senyumnya mengembang saat Airin melongokkan kepala seakan mencari tahu apa yang sedang dikerjakannya.

"Tumis udang saus tiram kesukaannya Kakak."

"Asyik... kalo gitu Kakak mau bantu ah. Biar cepet mateng," Airin berpindah posisi di samping Bunda, "hati-hati Bun, kumis udangnya tajam-tajam tuh."

Bunda terkekeh, "Bantu Bunda bikin sayur sop buat Ayah aja, lagi nggak enak badan katanya."

Airin menurut, ia menghampiri meja dapur yang sudah terdapat berbagai bahan masakan, "Pasti Ayah lembur lagi deh, padahal baru pulang dari rapat di Bandung kemarin."

"Ayah kamu tuh pekerja keras, susah dibilanginnya. Kalo udah sakit, baru deh nurutin kata Bunda."

Airin tersenyum sembari mengupas kulit tipis wortel dengan alat khusus. Ia sudah terbiasa mendengar Bundanya mengeluh tentang perangai sang Ayah yang pekerja keras sekaligus keras kepala, karena mereka sama-sama perempuan, jadi selalu nyambung kalau diajak berdiskusi. Tidak seperti saat Bunda curhat pada kedua anak laki-lakinya, Surya dan Cetta.

"Bunda...." baru saja dibicarakan, Surya dan Cetta datang ke dapur secara bersamaan.

"Bun, Adek mau ikut Bang Surya nge-gym ya." bujuk Cetta ketika tiba di sisi Bundanya.

"Iya gih. Tapi jangan lama-lama, Lea mau main ke rumah siang nanti." ucap Bunda menyebut nama sahabat perempuan Cetta, yang langsung diiyakan Cetta tanpa sadar.

"Ish, kebiasaan deh. Belum dicuci itu." Airin menepuk tangan Surya yang berhasil mendapat wortel dari baskom.

Surya merengut kecil, "Yaelah cuma satu biji, pelit amat lo." lalu ia menggigit wortel tanpa beban, membuat Airin emosi.

"Au ah, kalo lo sakit perut jangan salahin gue." acuh Airin, ia kembali memotong wortel kecil-kecil sebelum nanti dicuci.

Cetta yang baru menyadari kehadiran sang Kakak, langsung mendekat, "Lho, Kak Airin di rumah. Kirain jalan sama Bang Nino."

My Precious Girlfriend ✔Where stories live. Discover now