27

51 4 0
                                    

Suatu saat,
Ketika raga ini terbukti tidak untukmu, janganlah percaya...
Karena hatiku sepenuhnya telah dimiliki olehmu.

Kedua manusia ini sedang berlari dirumah sakit. Menyusuri setiap lorong untuk mencari ruangan yang mereka tuju.

Sedari tadi, hati Al terus memohon agar sesuatu yang mungkin akan menyakiti hatinya tidak terjadi. Karena satu jam yang lalu, ia mendapat kabar dari Gandi bahwa mamanya dilarikan kerumah sakit.

"Al! Udah nyampek lho!" teriak Gandi mengintrupsi dengan ekspresi khawatir.

"Mama gue kenapa?" tanyanya kemudian, setelah melihat dari celah bening pintu, seorang wanita terbaring diatas bankar ruangan dengan bau obat-obatan yang menyengat.

Gandi melirik gadis yang mengekori Al sejak tadi. Ane hanya menunduk dilihat demikian oleh Gandi yang langsung menatap Al.

"Bisa aku bicara dengannya sebentar?" ajak Gandi meminta persetujuan kepada Ane untuk berbicara empat mata dengan Al.

Ane hanya mengangguk, memberi kesempatan keduanya untuk mengatakan hal yang mungkin saja memang sangat penting kali ini.

"Kenapa Gan?"

Gandi menatap Al, meyakinkan bagaimana keadaan pria itu sekarang. "Al, mama lho...sebenarnya ini udah lama, Al. Tapi..."

Decakan cukup keras keluar dari mulut Al. Ia benci jika rasa takutnya lebih mendominasi. "Please, langsung ke intinya."

"Mama lho mengidap penyakit kanker rahim. Ini udah lama, dan gua gak tau alasan apa yang membuatnya bertahan sejauh ini." jelas sahabatnya itu membuat dada Al bergemuruh keras, meminta tuannya untuk berteriak agar segera bebas.

Al hanya bisa menekuk kakinya, merubah posisinya menjadi berjongkok dan memijat kepalanya yang luar biasa pening. Ia berulang kali menghela nafas kasar, berusaha menerima kenyataan pahit karena ia merasa kecewa selama ini. Kecewa karna dengan mudahnya wanita yang harusnya mendapat perhatian malah menyembunyikan fakta sebesar itu. Dimana keadaan ini bisa saja membuat hubungan keduanya membaik.

"Apa dia memang setega itu ke gue?" tanya Al tanpa menoleh ke arah Gandi yang tak kalah gusar.

Langkah Gandi mendekati Al dan menyentuh bahu lemas laki-laki yang sedang menahan tangisnya itu. "Gue ngerti perasaan lho, Al."

"Bisa gua ngomong sama mama sebentar?"

"Bisa saja, tapi gue saranin lo jangan sampek ke nawa emosi."

Al melangkah gontai mendekati pintu kamar. Tangannya cukup bergetar hanya karna beribu pertanyaan yang ia siapkan di benaknya. Perlahan mulai terlihat pemandangan seorang wanita kurus tengah terbaring, dibalut dengan selimut putih bersih hingga dadanya.

"Mama tau itu pasti kamu." suara Ema lirih. Ia tersenyum, meski alat bantu oksigen membuat senyuman itu terasa sakit.

Al memilih duduk daripada mengubris sapaan mamanya. "Apa papa tau tentang ini?

Ema tersenyum lagi. "Rupanya kamu mulai mengkhawatirkan mama ya."

"Berhenti menganggapnya lelucon. Apa lagi yang kau sembunyikan?" seru Al menatap nanar Ema.

Ema hanya memutar bola mata, memastikan cairan bening itu tidak turun. Ia tidak bisa lemah dihadapan Al.

"Ini tujuan mama menceraikan papa?" tanya Al lagi mulai terpancing dengan gejolak rasa kecewa di hatinya.

"Bukam seperti itu." jawabnya singkat. Kini air mata itu berhasil turun, namun telapak tangan Ema berhasil menyumbatnya mengalir ke pipi.

"Ma, seandainya mama tau apa yang aku rasakan."

MENDUNG | END ✔️Where stories live. Discover now