14

74 12 3
                                    


Wanita itu menghembuskan nafasnya berkali-kali dengan kasar. Terlihat dari raut wajahnya yang sedang merasa khwatir.

"Kamu sudah melupakan hubungan kita. Kamu sudah tidak ingat lagi dengan janjimu." ucap dirinya membatin.

Genggaman tangannya ia pererat dalam sebuah kotak musik kesayangannya. Ia memutarnya lagi dan lagi. Matanya menatap lurus arah jendela besar yang berhadapan langsung dengan meja kamarnya itu. Tatapan sendu itu masih terlukis di mimik wajah seorang Anelya. Kenangan akan orang terkasih, yang telah mematahkan hatinya karena meninggalkannya sendiri, benar benar sendiri.

Baginya, satu persatu orang yang ia sayangi meninggalkannya karena kesalahpahaman mereka akan sosok Ane. Ane tidak salah bukan? Ia hanya butuh kasih sayang, dan itupun harus membuatnya seperti orang yang benar- benar haus kasih sayang.

Ia melangkah gontai menuju ruang bawah. Ia hanya ingin mencari udara segar. Ane memakai sweater putih tidak terlalu tebal sebagai pelindung tubuhnya. Ia ingat bahwa suhu kota saat ini memang sedang dalam kondisi dingin dan berangin.

Sambil mengendarai sepedanya Ane mencoba untuk menghibur dirinya sembari melihat keindahan kota di senja hari. Kabut samar samar bersembunyi di megahnya pepohonan di pinggir jalan yang ia lalui.

Sejenak, kenangan akan kenangan itu kembali meremang dalam benaknya. Mungkin karena terlalu terlarut, Ane kehilangan keseimbangan dan tubuhnya berhasil terhempas ke bumi.

Ane meringis merasakan kakinya yang sedikit terluka. Memandangi darah kecil itu mengingatkan tentang sang bunda yang pernah mengalami luka yang serupa di tangannya. Namun bedanya itu pasti luka yang disebabkan oleh ayahnya, pikir Ane.

"Nona, apa kau baik baik saja?" tanya seseorang yang sedang melintas.

"Terimakasih pak, dia bersama saya, biar saya saja yang membantunya." jawab seorang pria bertopi hitam dengan tiba-tiba. Kemudian ia membangkitkan Ane dari tanah menuju sebuah kafe kecil di pinggir jalan.

"S-siapa kau? Jangan sentuh aku." seru Ane sedikit khwatir.
"Gan, ambilin kotak obat yang diatas meja sana!" perintahnya tanpa menjawab pertanyaan Ane.

"Aku bilang siapa kamu!" teriak Ane yang kini sedang memarahi pria yang mencoba mengobati luka kakinya itu.

"Ck." pria itu mendecak dan menekan luka Ane dengan sebuah kapas.
"Awhh!" jerit kecil Ane saat pria itu dengan kasar menyentuh lukanya.

"Apa kamu tidak punya perasaan! Aku tanya siapa kamu!! " teriak Ane lagi.

"Kamu ini berisik!" pria itu menatap tajam mata Ane. Ane tertegun melihat mata itu. Sorot matanya itu begitu menusuk perasaan siapapun yang menatapnya. Ane tidak sanggup berkata lagi, mata laki laki itu seperti mengisyaratkan dirinya untuk tidak membuka mulut.

Ane memperhatikan laki laki itu saat mengobati kakinya. Sepertinya ia pernah melihatnya di suatu tempat.

"Apa kamu memang selupa itu? Saya sudah berkali-kali berhadapan denganmu." ketus laki laki itu sambil menyelesaikan proses P3k nya.

Ane tampak bingung dengan pernyataan laki laki itu. Seingatnya tidak pernah ia bertemu dengan laki laki seperti dia. Tapi kenapa ia bisa tida sepeduli itu terhadap orang disekitarnya.

"Saya Al. Kamu benar benar pelupa." sergah laki laki yang bernama Al itu. Kemudian membuka topinya yang sangat jelas menampakkan ketampanannya.
Rambut yang mulai panjang, ia biarkan berantakan, namun justru itu yang mengesankan ketampanan di wajahnya.

"Seharusnya kamu bilang terimakasih. Nanti aku pasti jawab sama-sama." kata Al menambahkan, sambil melihat Ane yang masih tampak berfikir keras. Ane memaksimalkan ingatannya, dan ia sedikit ingat dengan Al saat terakhir kali mereka bertemu.

"Maafkan aku. Aku tidak tau aku bisa selupa ini." ucap Ane tampak serius sembari menatap Al dengan tatapan sayu.

"Ah sudahlah. Mungkin ini dialog terpanjang yang sudah aku lakukan bersama gadis asing. Jadi nona, perkenalkan dirimu." seru Al mantap. Memang ini adalah percakapan yang cukup panjang yang pernah ia lakukan bersama gadis lain selain ibu dan mantan kekasihnya. Dengan ibunyapun ia tidak terlalu berniat untuk berbicara. Al memang mempunyai daya sosial yang agak minim.

Ane yang sedari tadi hanya diam tanpa menuruti apa yang diminta oleh Al kini mulai tampak lebih tenang, karena sebelumnya ia mengira Al adalah laki-laki yang sama seperti orang orang sekolahnya.

Al menatap tajam kearah Ane, ia tidak suka jika wanita di hadapannya sedang menunduk seperti orang bodoh. Tapi yang membuat Al penasaran adalah, kehidupan gadis ini. Bagaimana sampai ia melihat wanita cantik sepertinya berada di antara orang orang gila. Bagaimana tatapan sedih dari sorot matanya yang sebenarnya sangat bersinar jika diisi oleh kebahagiaan. Ia rasa wanita di hadapannya itu telah menghadapi kontak batin akan sesuatu.

"Nona, siapa namamu? Ini agar saat kita bertemu lagi, kita bisa bertegur sapa bukan?" Gandhi bertanya kepada seraya menatap lekat gadis dihadapannya itu.

"Nam..namaku..Anelya. Kalian bisa panggil aku Ane." jawab Ane gugup.

"Woww..!" seru Gandhi sambil menepuk tangannya berkali-kali.
"Cantik sekali, benar-benar cantik,hehehe" seru Gandhi yang membuat Al menatapnya tajam.

"Ak..aku, harus pulang. Bisakah kamu antar aku pada sepedaku?" tanya Ane menatap Al dengan polos.

Al bangkit dr tempatnya dan mencoba membantu Ane berdiri. Namun Ane dengan cepat menepis tangan laki-laki itu.
Al membiarkan Ane berjalan sendiri, meski ia juga tidak yakin bahwa Ane mampu mengendarai sepedanya itu.

"Terimakasih." ucap Ane sambil tersenyum tipis kepada Al yang membantunya mengangkat sepedanya.

"Owh, ya. Tentu saja. Perlu sekali untuk katakan itu,kan?" ledek Al kepada Ane yang kemudian berubah ekspresi.

"Aku rasa. Kamu orang yang baik." tambah Ane, sebelum meninggalkan Al yang sedang melihat Ane yang lambat laun menghilang sampai ujung jalan.

Ane masih memikirkan kejadian-kejadian saat ia bertemu Al sebelumnya. Kenapa ia merasa sosok Al sangat dekat dengan perasaannya.

"Jangan. Jangan terlalu mencintai seseorang begitu dalam di hidupmu." pesan sang Bunda yang mulai mengisi ruang pikirnya. Ia tidak boleh mengenal cinta, cinta hanyalah duka. Dan duka adalah senyawa yang sangat berbahaya untuk disepelekan.

Bersambung.....




MENDUNG | END ✔️Where stories live. Discover now